Ketika Didik Rachbini Mengkambinghitamkan Gita Wirjawan

Ketika Didik Rachbini Mengkambinghitamkan Gita Wirjawan

Oleh Ade Armando

http://politik.kompasiana.com/2013/09/06/ketika-didik-rahbini-mengkambinghitamkan-gita-wirjawan-587411.html#comments

Kompasiana, 06 September 2013

Saya mengenal ahli ekonomi Didik Rachbini sebagai ilmuwan yang layak dihormati. Saya bahkan mengenalnya secara cukup dekat, baik ketika saya menjadi yuniornya di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) maupun ketika saya menjadi salah seorang sekretaris di Yayasan Paramadina yang diketuainya.
Karena itu, saya sungguh heran ketika membaca komentarnya yang dimuat beberapa media tentang Gita Wirjawan. Saya adalah pendukung Gita untuk maju sebagai Presiden 2014. Saya berusaha mempelajari langkah-langkahnya selama ini.
Dan pernyataan Didik nampak sebagai argumen yang mengada-ada.
Sebagaimana dikutip media, Didik menilai pelemahan rupiah yang terjadi saat ini diakibatkan membesarnya impor yang disebabkan buruknya kinerja Kementerian Perdagangan. “Kebijakan perdagangan kita gagal total. Semua defisit itu terjadi karena impornya besar. Kita itu rakus impor karena policy-nya tidak diatur,” ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013).

Didik bahkan secara khusus menyerang Gita. Menurutnya, Gita bersalah dalam mahalnya harga kedelai. Kata Didik, bahan baku tahu dan tempe ini seharusnya bisa diproduksi dalam negeri sendiri sehingga tidak perlu melakukan impor. “Mengurus kedelai saja tidak beres, kok malah nyapres?” kata Didik.
Buat saya argumen Didik ini tak melandaskan diri pada data. Defisit Indonesia sepanjang Januari-Juli memang sangat besar, mencapai US$5,65 miliar. Defisit di bulan Juli yang mencapai Rp. 25.652 triliun bahkan disebut defisit terburuk sepanjang sejarah.
Tapi data yang ada menunjukkan bahwa pangkal persoalan bukan terletak pada domain yang merupakan otoritas Gita.
Saya rujuk saja laporan VIVAnews (5/09/2013).
Laporan ini mengutip data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa defisit perdagangan terjadi karena impor migas yang sangat besar, jauh melampaui ekspor. Defisit migas mencapai US$7,63 miliar, sementara perdagangan non migas justru surplus US$1,98 miliar.
Akan halnya defisit Juli, penyebabnya adalah tingginya volume impor untuk menambah persediaan bahan bakar menjelang Idul Fitri. Menurut catatan BPS, pada Juli lalu, setidaknya impor minyak dan gas naik 24 persen dibandingkan Juni. Setelah Juli, sudah terlihat adanya pengurangan importasi BBM, sehingga diperkirakan defisit di bulan-bulan berikutnya akan menurun.
Di pihak lain, VIVAnews mengutip Kepala BPS, Suryamin yang menyatakan bahwa volume ekspor Indonesia terus meningkat. Pada Juli 2013 misalnya, terjadi kenaikan 2,37 persen ekspor dibanding Juni 2013, sebesar US$ 15.11 miliar.
Jadi, kalau memang penyebab utamanya adalah impor migas, kenapa Didik mengatakan pelemahan rupiah terjadi akibat kegagalan Gita?
Apalagi Didik juga bicara soal mahalnya kedelai. Kalau, sebagaimana dikatakan Didik, mahalnya harga kedelai diakibatkan ketidakmampuan kita memproduksi kedelai dalam negeri, bukankah itu persoalan kegagalan pertanian?
Urusan Gita dalam hal kedelai adalah menstabilkan harga. Karena kenaikan harga terjadi akibat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, Gita terpaksa membuka kran impor. Sayangnya yang diimpor itu pun harganya mahal karena kurs rupiah yang melemah. Tapi bagaimana mungkin ini disalahkan pada Gita?
Saya memang bukan ahli ekonomi. Namun hanya dengan logika sederhana saja, saya merasa siapapun dengan mudah bisa melihat betapa lemahnya argumen Didik.
Sekarang pertanyaannya, kenapa Didik tidak menunjukkan kualitas keilmuan yang selama ini saya kagumi?
Mungkin, ini ada kaitannya dengan fakta bahwa Didik adalah salah satu pimpinan Partai Amanat Nasional yang mengusung Hatta Rajasa – yang ironisnya adalah koordinator para menteri perekonomian — sebagai calon presiden 2014.
Jadi serangannya bisa jadi bukan kritik objektif, melainkan serangan terhadap kubu pesaing.
Kalau memang begitu, urusannya tentu jadi lain.
Saya tetap mengakui Didik sebagai ahli ekonomi yang layak dihormati. Tapi kalau benar kritiknya terhadap Gita didasarkan pada kepentingan politik, saya tidak jadi heran, melainkan prihatin.