Mengapa Kita Sebaiknya Tidak Memandang Al-Quran sebagai Kitab Hukum?

(Pernah dimuat di madinaonline.id; 11 April 2016) 

Beberapa hari yang lalu saya sudah menjelaskan argumen saya tentang mengapa umat Islam selayaknya tidak memperlakukan Sunnah dan Hadits sebagai hukum yang harus ditegakkan di Indonesia.

Kini saya akan melanjutkan penjelasan saya ke Al-Quran. Walau dengan argumen yang berbeda, saya juga menganggap Al-Quran itu bukan hukum. Dengan kata lain, isi Al-Quran bukanlah rangkaian aturan yang harus kita jalankan di masa ini. Isi Al-Quran adalah gagasan tentang bagaimana kita sebaiknya sebagai umat beragama menata kehidupan di dunia. Penerapan gagasan itu bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu, dari tempat satu ke tempat lain. Baca entri selengkapnya »

Setelah Iklan Televisi Megawati, di mana Jokowi?

http://politik.kompasiana.com/2013/12/21/setelah-iklan-televisi-megawati-di-mana-jokowi-618352.html#comments

Kemarin malam (20 Desember 2013), saya menyaksikan iklan Megawati dan Puan Maharani. Keduanya mengucapkan selamat hari Ibu. Saya ingin katakan pada banyak orang: “I’ve told you so.” (Saya bilang juga apa).

Maksud saya begini. Dalam berbagai percakapan, banyak sekali orang yang percaya bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan memajukan nama Jokowi sebagai calon presiden. Hitung-hitungan logisnya memang begitu. Mana ada sih penelitian jajak pendapat yang tidak menempatkan nama Jokowi di peringkat tertinggi calon Presiden yang dipilih rakyat? Jadi, kalau Jokowi yang maju, peluang dia menang besar sekali.

Sebagai catatan, saya sendiri adalah pendukung Gita Wirjawan. Kalau saya ditanya, jelas saya katakan calon terbaik Presiden adalah Gita. Tapi Jokowi jelas juga adalah calon Presiden yang memenuhi syarat. Dia adalah sosok yang mewakili pemimpin yang bersih dari korupsi, yang peduli pada rakyat, yang rendah hati dan tegas. Dengan kata lain, PDIP seharusnya mengajukan namanya bukan saja karena dia populer, tapi juga karena dia memiliki kualifikasi baik sebagai calon Presiden.

Tapi masalahnya, kenapa kita membutakan mata dari kenyataan bahwa keputusan politik di PDIP tidak sesederhana itu. Faktor utamanya adalah: Megawati.

Sang Ibu kita ketahui ingin kembali ke tampuk kepemimpinan Indonesia. Alasannya mungkin juga sederhana. Megawati sakit hati karena tidak pernah terpilih sebagai Presiden. Dia pernah menjadi Presiden karena menggantikan Gus Dur. Dan ketika maju di pemilu berikutnya, dia kalah.

Dengan segenap hormat, Megawati adalah tokoh penting, tapi yang jelas dia nampaknya bukan pemimpin yang memiliki kualitas memadai sebagai Presiden. Tapi kali ini, peluangnya nampak kembali terbuka karena ada yang disebut sebagai ‘Jokowi Effect’.

Istilah ‘Jokowi Effect’ini merujuk pada pengaruh kehadiran Jokowi sebagai orang PDIP terhadap perolehan suara PDIP di berbagai pemilihan. Beberapa waktu lalu Saiful Mujani Research and Cosultant melakukan penelitian untuk melihat apakah perolehan suara PDIP di pemilu legislatif akan berbeda kalau mereka mengajukan nama Jokowi sebagai Presiden atau tidak mengajukan nama Jokowi sebagai Presiden. Hasilnya mengagumkan: suara PDIP akan terdongkrak hampir 50 persen kalau mengajukan nama Jokowi sebagai Presiden.

Ini yang menjadi kondisi yang menjanjikan bagi kembalinya Megawati. Kalau Jokowi terus menerus dijaga popularitasnya dan dijaga terus dikenalannya sebagai ‘orang di samping’ Mega, itu akan bisa menaikkan peluang kedipilihan Mega yang selama ini juga sudah relatif tinggi.

Selama ini pertanyaan tentang apakah PDIP akan mengajukan nama Megawati atau Jokowi menggantung di udara. Tapi iklan kemarin itu menguatkan kesimpulan bahwa yang akan maju adalah Megawati. Sebuah ucapan selamat Hari Ibu tentu bisa saja ditafsirkan sebagai sekadar ‘iklan layanan masyarakat’ untuk mengangkat imej PDIP. Namun dalam konteks politik saat ini, hampir pasti megawati sedang mulai kembali menyapa ratusan juta penonton di Indonesia. Hampir pasti ini soal Persiden 2014.

Buat saya, ini menyedihkan. Rakyat Indonesia layak memperoleh seorang Presiden yang premium. Karena alasan itu, saya tentu berharap Gita Wirjawan bisa menjadi calon Presiden Juni 2014. Dan karena alasan itu pula, saya berharap Jokowi juga akan berada dalam gelanggang yang sama.

Sekarang, semua bergantung pada para pimpinan dan pengurus PDIP. Mereka adalah orang-orang yang bertanggungjawab untuk bicara pada Megawati bahwa demi Indonesia, relakanlah Jokowi untuk maju.
Tapi bisakah kita berharap pada mereka? Kalau mau jujur : peluangnya kecil. Orang-orang PDIP itu terkenal sebagai kumpulan orang yang kritis, pintar, berani dan terbuka. Namun itu hanya berani mereka lakukan terhadap lawan politiknya. Kalau sudah menyangkut Megawati, mereka terkesan pengecut: takut, ragu, pendiam, dan tak bisa jujur.

Saya tidak punya persoalan dengan Megawati. Dia orang baik. Hanya saja yang pantas maju sebagai calon Presiden Indonesia adalah Jokowi, bukan Megawati. Dan hanya masyarakat PDIP yang bisa menyampaikan pesan itu kepada Ibu Mega.

Tidak Ada Fatwa MUI yang Melarang Selamat Natal

Nafsiah Mboi Jadi Korban Buruk Sangka Berjamaah

Dalam agama sebenarnya ada ajaran agar manusia tidak berburuk sangka pada orang lain. Karena itu, diajarkan bahwa kalau seseorang mendengar kabar negatif tentang orang lain, jangan buru-buru percaya. Cek dulu. Verifikasi dulu. Kalau bukti sudah cukup, barulah kita bersuara.
293172_475372252490818_1991739948_nSaya langsung teringat dengan ajaran ini saat menyaksikan bagaimana Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sejak awal Desember dijadikan bulan-bulanan, objek cercaan berbagai kelompok dan tokoh masyarakat. Cercaan ini terutama datang dari tokoh atau kelompok yang mengusung bendera Islam, walau tak semua juga begitu.
Masalahnya, Nafsiah dimaki-maki karena sesuatu yang tidak dilakukannya. Dia dihujat karena dianggap berinisiatif dan mengeluarkan program Pekan Kondom Nasional 1-7 Desember 2013, yang di dalamnya ada kegiatan pembagian kondom gratis kepada masyarakat awam, pelajar dan mahasiswa. Lebih seru lagi, penyebaran itu dikatakan dilakukan melalui bus-bus antara lain ke kampus-kampus, dengan disertai penyebaran leaflet berisi anjuran agar menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks dengan pasangan. Duta kondomnya? Tak lain dan tak bukan adalah si seksi Julia Peres!
Ini namanya imajinasi tingkat tinggi! Pekan Kondom Nasional itu bukan kebijakan Menteri Kesehatan, melainkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Dan dalam program KPA itu pun tak ada bagi-bagi kondom kepada masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa.
KPA adalah sebuah Komisi yang dibentuk atas dasar Peraturan Presiden pada 2006 dan tidak memiliki kaitan dengan Kementerian Kesehatan. Pekan Kondom Nasional ini sudah berlangsung sejak 2007. Menteri Kesehatan tentu mendukung kegiata KPA, tapi tidak dalam hal menyebarkan kondom pada masyarakat umum. Nafsiah selalu menyatakan bahwa penyebaran kondom harus dikonsentrasikan kepada mereka yang berisiko tinggi, misalnya kaum pria yang berpotensi menjadi pelanggan Pekerja Seks Komersial.
Tahun ini PKN ini dilakukan dengan bekerjasama dengan perusahaan kondom DKT. Karena DKT tentu memiliki tujuan untuk memasarkan produk mereka, bisa dimengerti bila gaya promosinya lebih agresif. Ada serangkaian program yang mereka lakukan, seperti: lomba tulis jurnalistik, lomba foto media sosial, pemasangan billboard, penyebaran leaflet di 12 kota,serta konser musik Goyang Sutra di Jakarta Timur.
Pembagian kondom memang juga dilakukan tapi ‘hanya’ untuk kaum pria berisiko tinggi, seperti di pelabuhan, terminal dan lokalisasi. Dan memang ada bus Pekan Kondom Nasional yang menggunakan gambar Julia Peres. Tapi hanya satu buah dan tidak datang kampus-kampus. Di dalamnya pun tidak ada persediaan kondom untuk dibagikan. Hanya leaflet.
Tentu saja banyak pihak bisa terganggu dengan gaya kampanye DKT ini. Namun yang jelas ini bukanlah program dan kebijakan Menteri Kesehatan..
Celakanya, entah bagaimana, sejak Pekan Kondom ini mulai dilangsungkan, pada 1 Desember, caci maki dilontarkan kepada Nafsiah Mboi. Entah siapa yang mulai menyebarkan berita bohong, dengan segera orang percaya bahwa ini adalah kebijakan Nafsiah. Para tokoh bicara. Demonstrasi berlangsung di banyak tempat. DPR diminta untuk memanggil sang Menteri.
Wasekjen Majelis Ulama Indonesia, Tengku Zulkarnaen menyatakan kebijakan Menkes menyakiti hati umat Islam (Republika.co.id, 2/12). Menurut Tengku, pembagian kondom adalah upaya terselubung untuk mendorong kaum muda Indonesia berzinah. Ia juga meminta DPR dan Presiden memanggil Nafsiah.

Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq (dikutip oleh http://www.suaraislam.com, 3/12) menyatakan bahwa Menteri Kesehatan harus ditangkap karena program Kondom melanggar Undang-undang. Menurutnya, program bagi-bagi kondom kepada pemuda yang belum menikah adalah pembangkangan terhadap undang-undang. “Ia injak-injak aturan negeri ini,” kata Rizieq soal Nafsiah.

Ulama terkenal Ustadz Yusuf Mansyur melalui twitternya mempertanyakan naluri keibuan Nafsiah karena menjalankan program PKN. Anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatullah, menilai bahwa diadakannya Pekan Kondom Nasional menunjukkan Kemenkes tak memiliki senstitivitas dan gagal memahami budaya Indonesia dengan baik.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid meminta Komisi IX DPR segera memanggil Nafsiah terkait gerakan Pekan Kondom Nasional 2013. Menurut Hidayat, pendanaan gerakan itu bersumber dari APBN sehingga DPR wajib menanyakan efektivitas program tersebut. Menurutnya, sebagaimana dikutip situs kompas.com, kebijakan Kemenkes itu salah kaprah.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Okky Asokawati dari PPP (3 Desember) juga mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa Kementerian Kesehatan tak memiliki pemahaman cukup dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.“Membagi kondom secara serampangan justru menunjukkan rendahnya kontrol dan pemahaman para pemegang otoritas terhadap etika moral dan cara yang tepat untuk menanggulangi masalah ini,” kata Okky dalam pernyataan tertulis yang diterimaKompas.com, Selasa (3/12/2013).
Berbagai unjuk rasa pun dilakukan. Sampai tanggal 6 Desember saja masih berlangsung unjuk rasa penolakan Pekan Kondom Nasional. Misalnya di Samarinda, sejumlah mahasiswa yang bergabung dalam Lingkar Studi Mahasiswa meminta Dinas Kesehatan Kaltim menyampaikan tuntutan mereka pada Menteri Kesehatan berisikan penolakan atas Pekan Kondom Nasional.
Pihak Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah menjelaskan bahwa PKN bukan kebijakan mereka. Namun ini tak menyurutkan protes. Bahkan ketika akhirnya Kementerian Kesehatan meminta PKN dihentikan, yang muncul di tengah masyarakat adalah anggapan bahwa ‘akhirnya Menkes terpaksa mengalah dan menghentikan kebijakan yang sudah dimulainya’.
Dalam pandangan saya, Nafsiah sudah menjadi korban dari kecerobohan banyak pihak yang tidak terbiasa untuk melakukan verifikasi informasi. Sangat disayangkan bahwa yang terjebak dalam kesalahan itu adalah mereka yang terpandang yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Dalam hal ini, mungkin tidak berlebihan untuk berharap bahwa mereka yang sudah menyudutkan Menkes meminta maaf.
Tapi bisa jadi serangan terhadap Nafsiah ini adalah bagian dari propaganda hitam untuk menjatuhkan sang Menteri.
Dari yang saya pelajari, ada tiga alasan yang mungkin sekali membuat sebagian pihak ingin menjatuhkannya.
Pertama, alasan agama. Nafsiah adalah seorang eks-muslim yang pindah agama. Bagi sebagian pihak, ini adalah kesalahan yang pantas membuatnya dibenci seumur hidup.
Kedua, alasan integritas. Nafsiah memang dikenal sebagai Menteri yang tidak mentoleransi korupsi dan penyalahgunaan jabatan di Kementeriannya. Dengan sikap semacam ini, wajar bila Nafsiah dibenci banyak pihak.
Ketiga, Nafsiah memang dikenal gigih mendorong Indonesia untuk meratifikasi konvensi mengenai tembakau yang akan melarang setiap bentuk iklan rokok di Indonesia. Posisi ini pun menjadikannya harus berhadapan dengan berbagai pihak yang akan dirugikan bila Indonesia meratifikasi kesepakatan internasional itu.
Tentu saja, kita tak bisa buru-buru menyimpulkan. Yang jelas, Nafsiah sudah menjadi korban kesalahpahaman. Saya hanya berharap masyarakat Indonesia di masa depan bisa lebih berhati-hati mengambil sikap berdasarkan informasi yang menyebar.
Agama sudah mengajarkan agar kita tak berburuk sangka. Jadi mereka yang percaya pada agama, dengarkanlah ajaran itu.

Soal Sitok – Bukan soal Tuntutan Hukum, tapi Tanggung Jawab

02 Desember 2013

http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/02/soal-sitok-bukan-soal-tuntutan-hukum-tapi-tanggungjawab-613188.html

Salah satu kenyataan yang harus disadari tentang dihamilinya seorang mahasiswi UI berusia 22 tahun oleh penyair Sitok Srengenge adalah: si mahasiswi itu bisa jadi tidak akan bisa menuntut apa-apa.

Saya bukannya tidak bersimpati. Tapi marilah kita bersikap realistis.

Tak ada cara untuk membuktikan bahwa ada perkosaan, kalaupun perkosaan itu pernah ada.

Kalau kita baca penjelasan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UI, Sitok dituduh memanfaatkan keluguan si mahasiswi untuk bisa ditidurinya. Menurut BEM, Sitok melakukan teror mental, menjebak, merayu si mahasiswi sehinggi bisa ditiduri berulangkali.

Tapi cerita itu belum tentu benar. Dan tidak ada cara untuk bisa membuktikan kebenaran cerita itu, kecuali Sitok mengakuinya atau bila si mahasiswi menyimpan bukti yang bisa menunjukkan bahwa tekanan itu ada. Istri dan anak Sitok sendiri merasa Sitok tidak mungkin melakukan kejahatan itu.

Tanpa bukti-bukti yang dibutuhkan, tak akan ada perkara hukum yang bisa dikenakan. Di Indonesia, hubungan intim antara dua manusia dewasa tak tergolong pelanggaran hukum. Kecuali, bila ada paksaan atau bila salah satu pihak terikat dalam pernikahan dan pasangannya mengadukannya ke penegak hukum. Sitok memang sudah beristri, namun sang istri tidak ingin mempermasalahkan perilaku seks suaminya.

Jadi realistis saja, Sitok mungkin tak akan bisa dituntut oleh si mahasiswi.

Sebagian pihak menyatakan bahwa Sitok berada dalam dilema: dia jelas-jelas menolak poligami dan sekarang kalau dia hendak bertanggungjawab, ia akan terpaksa menikahi si mahasiswi dan berpoligami.

Realistis saja, Sitok tak bisa dituntut secara hukum untuk menikahi si mahasiswi. Tak ada dasar hukumnya. Kalau Sitok mau melenggang dan tak peduli, dia bisa melakukannya. Dia tidak perlu menghadapi dilema, karena pilihan Sitok mudah: jangan nikahi si mahasiswi yang sudah berulangkali ditidurinya.

Hidup memang sering tidak adil bagi wanita yang terlibat dalam hubungan di luar pernikahan semacam ini. Si wanita bisa saja melakukan hubungan itu dengan kesukarelaan atau bisa saja karena ketakutan. Tapi akibat yang harus ditanggungnya sangatlah berat dan terkesan tak adil. Dalam kasus ini: ia hamil; sementara si pria hidup normal seperti biasa.

Tapi setelah mengatakan itu, apakah Sitok tak bisa dimintai pertanggungjawaban sama sekali?

Jawabannya: ada.

Ini terkait dengan kewajibannya untuk bertanggungjawab atas anak yang akan dilahirkan si mahasiswi. Dalam kasus Machica Mohtar sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan bahwa seorang ayah harus bertanggungjawab atas anak di luar nikah. Dengan kata lain, Sitok harus bertanggungjawab atas biaya melahirkan si anak, dan biaya membesarkan si anak kemudian. Dia juga harus mengakui anak itu sebagai anaknya. Itu adalah kewajiban, bukan pilihan.

Salah satu yang sangat mengherankan dari Sitok adalah ia bahkan tidak melakukan tindakan ekstra untuk melindungi si wanita dari akibat yang lebih buruk. Singkatnya, ia misalnya tidak menggunakan kondom. Dalam hal ini, si mahasiswi tidak bisa terlalu disalahkan karena tidak berhati-hati, kalaupun ini dilakukan dengan persetujuan. Ia masih sangat muda dan wajar bila tidak memiliki pengetahuan cukup. Tapi Sitok? Tak ada alasan baginya untuk sembarangan berhubungan.

Sebagai seorang budayawan, sikap Sitok memang terkesan memprihatinkan. Bahwa si mahasiswi sampai harus ke polisi dan ‘go public’ semacam ini menunjukkan bahwa ia tidak melihat ada itikad baik ditunjukkan Sitok. Sitok seharusnya lebih awal bertanggungjawab. Ia bisa saja memilih hidup tanpa mengindahkan kaidah agama. Itu pilihan dia. Tapi dia tetap harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan dari perilaku seksnya.

Bagaimanapun, marilah kita realistis. Seperti saya katakan, saya tak melihat ada kasus hukum yang kuat untuk memperkarakan Sitok. Dan kalau dia memang tidak memperkosa, tidak perlu juga dia diperkarakan secara hukum. Yang bisa dan harus dia lakukan adalah bertanggungjawab atas nasib si ibu dan si anak yang akan dilahirkan. Ibu dan anak itu akan hidup dalam suasana sulit. Si ibu akan selamanya hidup dengan label ‘perempuan yang dihamili di luar nikah’. Dan si anak akan hidup dengan stigma ‘anak di luar nikah’. Tidak akan mudah hidup dengan cara seperti itu. Sitok mungkin bisa meringankannya.

Ketika Didik Rachbini Mengkambinghitamkan Gita Wirjawan

Ketika Didik Rachbini Mengkambinghitamkan Gita Wirjawan

Oleh Ade Armando

http://politik.kompasiana.com/2013/09/06/ketika-didik-rahbini-mengkambinghitamkan-gita-wirjawan-587411.html#comments

Kompasiana, 06 September 2013

Saya mengenal ahli ekonomi Didik Rachbini sebagai ilmuwan yang layak dihormati. Saya bahkan mengenalnya secara cukup dekat, baik ketika saya menjadi yuniornya di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) maupun ketika saya menjadi salah seorang sekretaris di Yayasan Paramadina yang diketuainya.
Karena itu, saya sungguh heran ketika membaca komentarnya yang dimuat beberapa media tentang Gita Wirjawan. Saya adalah pendukung Gita untuk maju sebagai Presiden 2014. Saya berusaha mempelajari langkah-langkahnya selama ini.
Dan pernyataan Didik nampak sebagai argumen yang mengada-ada.
Sebagaimana dikutip media, Didik menilai pelemahan rupiah yang terjadi saat ini diakibatkan membesarnya impor yang disebabkan buruknya kinerja Kementerian Perdagangan. “Kebijakan perdagangan kita gagal total. Semua defisit itu terjadi karena impornya besar. Kita itu rakus impor karena policy-nya tidak diatur,” ujarnya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9/2013).

Didik bahkan secara khusus menyerang Gita. Menurutnya, Gita bersalah dalam mahalnya harga kedelai. Kata Didik, bahan baku tahu dan tempe ini seharusnya bisa diproduksi dalam negeri sendiri sehingga tidak perlu melakukan impor. “Mengurus kedelai saja tidak beres, kok malah nyapres?” kata Didik.
Buat saya argumen Didik ini tak melandaskan diri pada data. Defisit Indonesia sepanjang Januari-Juli memang sangat besar, mencapai US$5,65 miliar. Defisit di bulan Juli yang mencapai Rp. 25.652 triliun bahkan disebut defisit terburuk sepanjang sejarah.
Tapi data yang ada menunjukkan bahwa pangkal persoalan bukan terletak pada domain yang merupakan otoritas Gita.
Saya rujuk saja laporan VIVAnews (5/09/2013).
Laporan ini mengutip data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa defisit perdagangan terjadi karena impor migas yang sangat besar, jauh melampaui ekspor. Defisit migas mencapai US$7,63 miliar, sementara perdagangan non migas justru surplus US$1,98 miliar.
Akan halnya defisit Juli, penyebabnya adalah tingginya volume impor untuk menambah persediaan bahan bakar menjelang Idul Fitri. Menurut catatan BPS, pada Juli lalu, setidaknya impor minyak dan gas naik 24 persen dibandingkan Juni. Setelah Juli, sudah terlihat adanya pengurangan importasi BBM, sehingga diperkirakan defisit di bulan-bulan berikutnya akan menurun.
Di pihak lain, VIVAnews mengutip Kepala BPS, Suryamin yang menyatakan bahwa volume ekspor Indonesia terus meningkat. Pada Juli 2013 misalnya, terjadi kenaikan 2,37 persen ekspor dibanding Juni 2013, sebesar US$ 15.11 miliar.
Jadi, kalau memang penyebab utamanya adalah impor migas, kenapa Didik mengatakan pelemahan rupiah terjadi akibat kegagalan Gita?
Apalagi Didik juga bicara soal mahalnya kedelai. Kalau, sebagaimana dikatakan Didik, mahalnya harga kedelai diakibatkan ketidakmampuan kita memproduksi kedelai dalam negeri, bukankah itu persoalan kegagalan pertanian?
Urusan Gita dalam hal kedelai adalah menstabilkan harga. Karena kenaikan harga terjadi akibat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, Gita terpaksa membuka kran impor. Sayangnya yang diimpor itu pun harganya mahal karena kurs rupiah yang melemah. Tapi bagaimana mungkin ini disalahkan pada Gita?
Saya memang bukan ahli ekonomi. Namun hanya dengan logika sederhana saja, saya merasa siapapun dengan mudah bisa melihat betapa lemahnya argumen Didik.
Sekarang pertanyaannya, kenapa Didik tidak menunjukkan kualitas keilmuan yang selama ini saya kagumi?
Mungkin, ini ada kaitannya dengan fakta bahwa Didik adalah salah satu pimpinan Partai Amanat Nasional yang mengusung Hatta Rajasa – yang ironisnya adalah koordinator para menteri perekonomian — sebagai calon presiden 2014.
Jadi serangannya bisa jadi bukan kritik objektif, melainkan serangan terhadap kubu pesaing.
Kalau memang begitu, urusannya tentu jadi lain.
Saya tetap mengakui Didik sebagai ahli ekonomi yang layak dihormati. Tapi kalau benar kritiknya terhadap Gita didasarkan pada kepentingan politik, saya tidak jadi heran, melainkan prihatin.

Kalau Ada Ulama Mengoleksi Mobil Mewah, Itu Karena Ulama Manusia Biasa

(Dimuat di Kompasiana, 15 Agustus 2013)

Di sebuah acara halal bihalal, saya mendengar obrolan sejumlah kerabat soal gaya hidup dan perilaku para ulama maupun politis yang membawa bendera Islam.  Masing-masing orang memberi contoh-contoh menarik tentang apa yang disebut sebagai betapa tidak ‘Islaminya’ perilaku sebagian ulama dan politisi Islam sekarang ini.

Dari soal seorang ustad terkenal yang memiliki koleksi  mobil mewah, soal PKS yang dilanda kasus korupsi, soal Yusuf Mansyur yang menggerakkan bisnis investasi yang bermasalah, sampai FPI yang jadi ‘musuh bersama’ di mana-mana.

Pada dasarnya orang prihatin. Tapi bagi saya, rangkaian kasus itu justru penting untuk satu hal: agar masyarakat sadar bahwa ada perbedaan serius antara agama dan simbol agama, dan bahwa orang yang membawa simbol agama adalah manusia biasa.

Masalahnya, dalam pandangan saya, masyarakat sering keliru menyangka bahwa segala hal yang melekat dengan agama pastilah baik. Padahal sejarah sudah membuktikan berulangkali bahwa cara pandang itu salah.

Kita sering terlalu gegabah menganggap bahwa ulama itu pasti benar dan baik. Padahal ulama adalah manusia biasa. Mereka dianggap sebagai ulama karena mereka belajar lebih banyak soal agama. Tapi apakah itu berarti mereka dengan sendirinya benar? Sama sekali tidak. Ini sama saja dengan bertanya apakah seorang doktor komunikasi (seperti saya) adalah orang yang paling tahu mengenai cara berkomunikasi yang baik dan benar? Tentu saja tidak.

Kualitas seorang ahli akan bergantung pada banyak hal. Misalnya saja, lembaga pendidikan di mana ia belajar, buku-buku yang ia baca, rekan diskusinya, penelitian yang pernah ia lakukan dan banyak hal lainnya. Saya mungkin saja ahli komunikasi tapi saya bisa saja berbeda pendapat dengan ahli komunikasi yang lain. Lebih jauh lagi, saya mungkin sekali kalah pintar dengan orang lain yang tidak menjalani pendidikan komunikasi formal tetapi banyak baca buku atau bekerja di bidang komunikasi dalam waktu cukup lama. Lebih jauh lagi, dalam dunia komunikasi, sebuah teori yang semula diyakini masyarakat akademik ternyata bisa saja belakangan dianggap tidak lagi sahih karena ada kelompok ilmuwan lain yang melahirkan teori lebih baru yang dianggap lebih baik menjelaskan fenomena komunikasi tersebut.

Begitu juga dengan ahli agama. Seorang ahli agama bisa saja berbeda pandang dengan ahli agama lainnya. Seorang ahli agama bisa saja salah menafsirkan fenomena agama. Atau bisa saja ia sebenarnya tidak terlalu pandai tapi dianggap sebagai ahli karena kondisi-kondisi tertentu (misalnya dia adalah anak kyai besar yangdiwarisi pesantren terkenal yang didirikan ayahnya).

Ulama adalah manusia biasa yang tidak perlu diperlakukan sebagai nabi. Karena itu, perbedaan pendapat antara ulama adalah hal yang biasa-biasa saja; pendapat ulama tak perlu dianggap sebagai kebenaran mutlak atau kebenaran tunggal. Pendapat ulama itu bisa dibantah kalau kita memiliki referensi lain atau kita menganggapnya sebagai tak masuk di akal .   Ini tak berarti masyarakat tak perlu menghargai  pendapat ulama. Pendapat ulama perlu dihargai, tapi itu bukan kebenaran tunggal.

Karena ulama itu pada dasarnya manusia biasa, mereka juga memiliki kecenderungan sama dengan manusia biasa.     Mereka bisa baik tapi bisa juga jahat. Mereka bisa jujur tapi bisa juga licik. Mereka bisa menahan nafsu tapi juga bisa serakah. Mereka bisa berorientasi spiritual tapi juga bisa menomorsatukan materi. Mereka bisa idealis tapi juga bisa oportunis.

Sejarah umat manusia banyak diisi dengan kelakuan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai pemuka agama tapi berperilaku jahat. Eropa misalnya pernah memiliki masa ‘Abad Kegelapan’ ketika para pendeta di masanya berkolusi dengan penguasa politik untuk mengeksploitasi rakyat. Para pendeta itu bisa berlaku sewenang-wenang karena masyarakat dibodohi dengan keyakinan bahwa para pemuka agama itu tak mungkin melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah Tuhan. Baru setelah masyarakat Eropa menjadi pintar akibat kebudayaan membaca, terjadi pemberontakan yang melahirkan Reformasi yang kini buahnya dinikmati oleh masyarakat dunia.

Catatan sejarah itu harus selalu ada dalam rekaman ingatan dan kesadaran kita bersama. Salah satu pelajaran pentingnya adalah: kita tak boleh memperlakukan para pemuka agama sebagai orang-orang suci yang paling benar.   Mereka bisa benar, tapi bisa juga salah. Mereka bisa baik, tapi bisa juga jahat.

Agama adalah kumpulan gagasan. Yang mempelajari dan menguasainya belum tentu mempraktekkannya.  Tak ada hubungan antara predikat ulama, atau predikat haji, atau habib, atau lulusan sekolah Islam, atau apalagi kefasihan  menghapal dan membaca Al Quran, mengenakan jilbab, atau bernama Muhammad Ibrahim Yusuf, atau aktivis organisas Islam dengan kualitas dan integritas orang yang melekat dengannya.

Bila kita bisa menurunkan derajat harapan kita terhadap ulama, kita akan lebih rileks menghadapi kenyataan bahwa ada banyak ulama, pemuka agama atau aktivis Islam yang perilakunya nampak tak beradab. Kalau ada ulama yang mengkoleksi mobil mewah di tengah kemiskinan rakyat, kalau ada politisi islam yang ternyata melakukan tindak korupsi, kalau Kementerian Agama disebut sebagai kementerian paling korup di Indonesia, kalau ada organisasi berlabel Islam senang menyerang secara brutal mereka yang berbeda pandangan dengan mereka, itu adalah fenomena biasa saja.

Dan dengan sikap rileks semacam ini pula, saya percaya, kehidupan bermasyarakat akan menjadi lebih baik. Masyarakat Indonesia perlu belajar menghargai perbedaan pendapat dan itu hanya akan bisa dicapai kalau kita menerima keyakinan bahwa sebenarnya tak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Bahkan bila lembaga seperti MUI mengeluarkan fatwa, itu hanya merupakan pandangan sejumlah pemuka agama yang bisa saja benar tapi bisa juga salah.

Dengan argumen ini, tentu saya tidak bermaksud mengajak orang tidak mempercayai ulama. Tentu saja Indonesia membutuhkan pemuka agama, sebagaimana kita membutuhkan ilmuwan-ilmuwan di berbagai disiplin ilmu lainnya. Indonesia sudah banyak melahirkan ulama yang jelas berpengaruh positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi, pada saat yang sama, kita juga harus ingat bahwa para ulama adalah manusia yang tidak suci dan tidak pernah boleh dianggap mewakili Tuhan.

Ketika TV One dan ANTV ‘Melenyapkan’ Gita Wirjawan dari Kesuksesan Bulutangkis Indonesia

(Dimuat di Kompasiana, 21 Agustus 2013)

Beginilah kalau politik mengintervensi media massa dan bulutangkis.

Saya baru saja mendapat kabar menggelikan soal TV One dan ANTV. Beberapa hari setelah tim bulutangkis Indonesia merebut dua medali emas dalam kejuaraan dunia di Cina, produser program berita yang mewakili dua stasiun televisi bersaudara itu menghubungi humas PBSI untuk mewawancarai para jagoan Indonesia.

Tapi, dan ini yang penting, mereka meminta agar yang diwawancarai hanyalah para atlet, tanpa mengikutsertakan Ketua umum PBSI.

Permintaan wawancara tentu saja hal yang biasa-biasa saja. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa harus ada klausul “tanpa Ketua umum PBSI”?

Untuk menjaga agar jangan sampai ada yang bingung, saya tambahkan dua catatan penting. Pertama, Ketua umum PBSI adalah Gita Wirjawan,  Menteri Perdagangan yang hampir pasti menjadi calon Presiden yang akan ikut dalam Konvensi Partai Demokrat. Kedua, TV One dan ANTV dimiliki Abu Rizal Bakrie yang adalah  Ketua Umum Golkar sekaligus calon Presiden 2014.

Jadi, layak diduga, ini adalah persoalan politik.

Sekembalinya mereka dari Cina, tim Indonesia kebanjiran permintaan wawancara televisi dan media lainnya. Mereka muncul – setidaknya yang saya lihat – di Net TV, Metro, SCTV dan RCTI. Dan hampir selalu memang dalam wawancara itu hadir Gita.

Kemenangan itu bisa dibilang membanggakan publik Indonesia. Setelah sekian tahun terpuruk, bulutangkis Indonesia seperti kembali menunjukkan kejayaannya. Apalagi kemenangan itu diraih di kandang Cina, di hadapan ribuan penonton Cina fanatik, sementara Indonesia hanya didukung oleh sekitar 35 penonton. Bahwa tak ada satupun stasiun televisi nasional menyiarkan siaran langsung pertandingan final itu rasanya menunjukkan bahwa hanya sedikit orang meramalkan keberhasilan tim Indonesia.

Namun yang penting, kebangkitan itu ada kaitannya dengan pembenahan sistem yang dilakukan Gita sejak ia terpilih menjadi Ketua Umum PBSI pada September 2012. Ketika ia naik, Indonesia baru saja terkena skandal memalukan di Olimpade London yang menyebabkan tim nasional didiskualifikasi karena ketahuan sengaja kalah untuk mencari lawan lebih mudah di babak berikutnya. Sejak 2007, Indonesia juga tak pernah menang di final kejuaraan dunia. Ketika Gita datang, tak ada kebanggaan dalam tim Indonesia.

Salah satu hal terpenting yang dilakukan Gita adalah menempatkan para pemain sebagai pusat perhatian. Dengan tangan dinginnya, ia berhasil menarik banyak sponsor dan sebagian besar uang yang masuk itu dialirkan untuk meningkatkan kesejahteraan para pemain. Sjeak awal 2013, 83 atlet di pelatnas mendapat individual sponsorship. Penghasilan pemain dan pelatih naik 50-100 persen.

Gita juga melibatkan para bintang bulutangkis senior untuk melatih para calon bintang muda ataupun terlibat dalam struktur kepengurusan PBSI. Dari Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Christian Hadinata, Lius Pongoh, sampai Ricky Subagja serta Rexy dan Richard Mainaky kini terlibat dalam pembinaan pemain muda. Ivanna Lie bahkan berhasil diajak terlibat walau bintang legendaris itu pernah menyatakan tak akan mau membantu bulutangkis Indonesia, bertahun-tahun yang lalu.

 

 

Gita percaya pada pembinaan sejak kecil. Salah satu sponsor terbesar saat ini adalah perusahaan Coca Cola yang berkomitmen menyediakan jutaan rakat gratis bagi anak-anak Indonesia agar budaya bulutrangkis kembali tumbuh di masyarakat.

Di bawah Gita, PBSI saat ini membangun sekolah atlet di pusat pelatihan di Cipayung. Sekolah ini sengaja didirikan dengan tujuan menjaga agar pendidikan para atlet yang berada di kamp pelatihan tidak terabaikan. Gita tak ingin bahwa para atlet sampai kehilangan kesempatan memperoleh kualitas pendidikan terbaik hanya karena mereka mendedikasikan diri dalam dunia bulutangkis.

Apa yang ingin dikatakan melalui contoh panjang di atas adalah bahwa meningkatnya pencapaian para atlet bulutangkis Indonesia saat ini bisa diduga terkait dengan pembenahan sistem pembinaan di PBSI dan ini, tak bisa tidak, harus dikaitkan dengan peran Gita sebagai Ketua PBSI. Dengan konsisi semacam ini, ta berlebihan bila Gita sudah merancang bahwa dalam tiga tahun ke depan, Indonesia akan kembali menjadi raksasa di berbagai gelanggang internasional dan dunia: SEA Games, All England, Thomas/Uber Cup, Piala Sudirman dan Piala Dunia

Ini yang menyebabkan harian besar Kompas, misalnya, menyajikan wawancara khusus dengan Gita soal PBSI. Ini yang menjelaskan mengapa stasiun-stasiun televisi nasional melibatkan Gita dalam wawancara khusus mereka dengan para atlet bulutangkis. Dan ini pula yang menyebabkan baik Humas PBSI ataupun para atlet bulutangkis Indonesia heran mengapa TV One dan ANTV secara khusus meminta agar tak ada Gita.

Dari informasi yang saya dapat, Humas PBSI bahkan sampai meminta sang produser acara mempertimbangkan ulang persyaratan yang ia berikan. Namun, sang produser kemudian menyatakan bahwa keputusan untuk tidak mewawancarai Gita adalah keputusan rapat redaksi.

Tentu saja Anda tidak perlu menjadi jenius untuk memahami kebijakan redaksi TV One dan ANTV. Ini adalah soal politik. Entah siapa yang memerintahkan, redaksi memutuskan untuk tidak mengangkat keberhasilan tokoh yang mungkin akan menjadi pesaing pemilik media (ARB) dalam gelanggang pemilihan presiden 2014. Kalau saja Gita bukan calon presiden, ceritanya pasti lain.

Dilihat dari persepsktif jurnalistik, ini sangat memalukan dan memperihatinkan. Media massa adalah mata telinga masyarakat. Media massa diharapkan menjadi pihak yang secara netral, independen dan objektif menyediakan informasi tentang dunia kepada masyarakat. Menjadi jurnalis adalah pilhan profesi mulia karena di dalamnya ada kewajiban etik bahwa para pelakunya senantiasa menempatkan ‘kebenaran’ dan kewajiban melayani publik sebagai prioritas utama.

Kalau hanya karena kepentingan pemilik, media dengan sengaja menghambat informasi yang perlu diketahui masyarakat, media tersebut telah mengkhianati keberadaannya. Kesuksesan Gita memimpin PBSI adalah contoh yang penting untuk diketahui agar masyarakat bisa belajar tentang cara-cara yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Kalau hanya karena Gita adalah pesaing ARB, TV One dan ANTV memutuskan untuk melaporkan keberhasilan itu kepada public, itu memalukan.

Media massa adalah kekuatan penting dalam masyarakat. Namun media hanya akan membawa manfaat kalau media digerakkan oleh orang-orang yang berintegritas. TV One dan ANTV sayangnya, dalam kasus ini, mengambil pilihan yang tidak membanggakan.

Pramono Anung dan Apa Salah Gita Wirjawan?

Pramono Anung dan Apa Salah Gita Wirjawan?

http://politik.kompasiana.com/2013/07/20/pramono-anung-dan-apa-salah-gita-wirjawan-575092.html 

Image

Pekan lalu, anggota parlemen Pramono Anung menyindir Gita Wirjawan yang menurutnya sebaiknya mundur saja dan seharusnya diberi teguran lebih keras oleh Presiden akibat kegagalannya mengendalikan harga daging sapi. Pramono juga berkomentar bahwa Gita lebih sibuk mengurusi pencitraan dirinya untuk menuju kursi kepresidenan ketimbang mengurusi harga-harga.

Pandangan seperti komentar Pramono itu memang lazim terdengar di berbagai kolom komentar pembaca di berbagai media online.

Tapi bagi saya, Pramono mengecewakan karena dia adalah seorang anggota parlemen yang berkualitas di atas rata-rata politisi lainnya. Seharusnya dia lebih tahu daripada rakyat kebanyakan tentang persoalan yang sesungguhnya.

Menganggap Gita bersalah dan tidak bekerja dalam soal harga daging hanya bisa hadir dari ketidakpahaman masalah atau karena memang sengaja ingin menjatuhkan Gita.

Banyak rakyat tidak paham, di masa ini pemerintah tidak boleh mengintervensi harga pasar. Dengan kata lain, harga itu seharusnya mencerminkan keseimbangan pasokan dan permintaan. Menteri tidak boleh mengeluarkan instruksi bahwa harga dipatok pada angka tertentu.

Dalam soal daging ini, yang jadi masalah adalah permintaan jauh lebih besar dari persediaaan. Peternakan dalam negeri tidak bisa menyediakan daging dalam jumlah yang cukup. Jadi yang menaikkan harga adalah produsen dalam negeri. Kenapa mereka melakukannya? Karena mereka adalah pebisnis!

Salah satu cara untuk menyeimbangkan permintaan dan pasokan adalah mengimpor daging. Masalahnya, Indonesia juga memutuskan bahwa untuk kebutuhan pokok semacam ini, arus impor itu dibatasi. Ada kuotanya. Gita selalu mengatakan, bahwa sebenarnya akan jauh lebih mudah  kalau Indonesia membuka saja pintu selebar-lebarnya bagi impor daging.  Tapi dia sadar, kalau itu dilakukan, itu akan mengancam peternakan domestik.

Masalah bagi Gita, kebijakan impor sapi itu tidak terletak di tangannya. Yang punya otoritas pertama untuk mengeluarkan surat izin adalah Menteri Pertanian.  Karena itu, dalam  kasus ’sapi PKS’ nya Fathonah, yang disebut-sebut terlibat adalah Menteri Pertanian. Dalam kasus impor sapi sekarang pun, Menteri Pertanian bermasalah karena izin impornya terlambat sekali dikeluarkan. (Alasan Kementerian Pertanian soal keterlambatan impor ini adalah ketidaksiapan Bulog menyediakan cold storage untuk menyimpan daging-gading impor itu).

Bahkan Kementerian Pertanian pun punya kontribusi negatif lain bagi persoalan ini karena selama bertahun-tahun mereka gagal mengeluarkan langkah-langkah yang akan mendorong peningkatan produksi daging dalam negeri sesuai dengan kebutuhan pasar domestik.

Dengan gambaran semacam ini, mengherankan kalau Gita jadi orang yang dipersalahkan dalam ketidakcukupan supply daging. Ini yang menyebabkan dia berulang-ulang  menyatakan, sebaiknya kebijakan impor daging sapi itu ada di satu pintu saja, yaitu Kementerian Perdagangan. Ini sangat logis mengingat keruwetan yang terjadi akibat keterlambatan Kementerian Pertanian.

Gita tentu kesal karena kementeriannya memang bertanggungjawab untuk menjaga kelancaran pasar, tapi dia tidak diberi kewenangan cukup untuk mengatasinya. Kalaulah ada kelemahan Gita adalah dia tidak cukup tega untuk bicara secara terbuka di depan publik tentang kelambatan kerja koleganya di kabinet itu.

Di sisi lain, SBY juga nampak kesal  karena ketidakkompakan kedua menterinya itu.

Untuk menunjukkan keruwetan masalah ini, lihatlah sikap sikap sejumlah pedagang di Jakarta yang menolak menjual daging-daging sapi impor yang secara khusus sudah didatangkan oleh Bulog. Alasan mereka macam-macam. Tapi jelas dengan sikap semacam itu, sulit membayangkan harga bisa turun dengan cepat.

Yang ingin  saya katakan, menyalahkan Gita untuk urusan harga sapi ini berlebihan. Masyarakat awam tentu dimaklumi kalau berpandangan sederhana. Tapi kalau itu keluar dari Pramono Anung?

Saya kuatir bahwa Pramono sekadar ingin menghantam Gita saja. Apalagi dia menuduh Gita lebih sibuk dengan urusan pencitraan menjelang jadi Capres. Padahal kalau kita mendengar nama Gita di media selama 1-2 bulan terakhir, hampir selalu itu terkait dengan kewajibannya sebagai Menteri Perdagangan: soal harga daging, harga cabe, HP ilegal, produk rekaman bajakan, WTO, pembelaan terhadapo UMKM, dsb.  Kalau itu disebut sebagai pencitraan, ya susahlah.

Jadi, kalau begitu, kenapa Pramono melakukannya?

Mungkin karena pada akhirnya, terlepas dari segenap kualitasnya, Pramono adalah tetap seorang politisi. Dia menyerang Gita bukan karena urusan publik, tapi karena ingin memanfaatkan momen untuk mendiskreditkan seoranbg Capres yang  dikhawatirkannya.

Dan itu memperihatinkan.

Bolehkah media Massa Menjadi Sarana Kampanye Pemilik?

12 April 2013

hary-surya-nasdem-300x195Apakah Surya Paloh, Aburizal Bakrie atau Hary Tanoesoedibjo secara hukum diizinkan untuk menggunakan stasiun televisi-radio atau suratkabar yang mereka miliki untuk kepentingan politik mereka? Apakah para pemilik media diizinkan berpolitik? Dapatkah sebuah media berposisi partisan dalam politik?

Perrtanyaan-pertanyaan semacam itu lazim kembali terangkat sejalan dengan semakin mendekatnya proses pemilihan umum yang akan membawa Indonesia memperoleh seorang pemimpin pemerintahan baru. Karena gelanggang politiknya terbuka luas, bisa dipahami bila ada kekuatiran bahwa pertarungan akan berlangsung tak berimbang karena isu kepemilikan media.

Masalahnya, kita percaya bahwa media massa – terutama televisi – memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini publik. Karena itu, bila media dikuasai oleh para pemain politik tertentu, dikhawatirkan masyarakat pemilih akan tergiring untuk mengambil keputusan tentang para pemimpin tidak dengan panduan informasi yang lengkap, akurat dan berimbang.

Tulisan ini akan berusaha menjawab rangkaian pertanyaan tersebut dengan pertama-tama melihat bagaimana negara-negara demokratis mengaturnya dan kemudian melihat peraturan perundangan yang ada di Indonesia.

Kebebasan Pers untuk Menentukan Sikap

Salah satu kondisi yang harus diingat soal Indonesia adalah negara ini sejak reformasi sudah memilih jalan menghargai kebebasan pers. Implikasinya, negara terpaksa tidak boleh dibiarkan terlalu jauh campur tangan dalam mengatur kehidupan media massa. Kebebasan ini memang bisa membawa banyak ekses negatif namun kalaupun itu terjadi, itu tetap tak boleh dijadikan pembenaran bagi pengekangan kebebasan pers.

Karena itu, negara tidak bisa melarang para pemilik media untuk terjun ke dalam dunia politik atau sebaliknya melarang politisi untuk memiliki media massa. Itu harus dilihat sebagai hak asasi warga negara yang dilindungi oleh hukum.

Namun setelah mengatakan begitu, ini tak berarti dengan sendirinya media massa boleh bersikap partisan atau menjadikan diri sebagai juru propaganda kubu politik pemilik media. Dalam hal ini, harus dibedakan antara media cetak dan media penyiaran (televisi dan radio).

Kebebasan penuh hanya bisa diberikan kepada media cetak, tapi tidak pada lembaga penyiaran. Alasan utamanya, lembaga penyiaran beroperasi dengan memanfaatkan frekuensi siaran yang sebenarnya merupakan milik publik. Dengan kata lain, untuk bisa menjangkau khalayak penonton atau pendengarnya, stasiun televisi atau radio harus meminjam frekuensi dari masyarakat luas. Karena itu pemanfaatan frekuensi siaran tidak bisa sepenuhnya ditentukan oleh pengelola media.

Dalam dunia penyiaran, pengelola media lazim diminta menyajikan isi siaran dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pemilik frekuensi dalam prioritas teratas.
Karena itu di banyak negara demokratis, lembaga penyiaran lazim dikenakan beragam peraturan menyangkut komunikasi politik yang dijalankannya. Pembatasan ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan pers karena media dianggap harus tunduk pada kewajiban melayani kepentingan majikannya – yaitu masyarakat luas – untuk memperoleh informasi yang lengkap, mendalam, dan berimbang tentang proses politik yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pembatasan ini tidak dialami media cetak karena dalam menyebarkan pesan mereka hanya menggunakan kertas (koran) yang bisa dipandang sebagai hak milik mereka sendiri. Secara ekstrem bisa dikatakan, kalaupun kertas yang mereka sudah beli mereka bakar tanpa dijadikan koran, tidak ada satupun pihak yang berhak melarang mereka.

Kalaupun ada argumen bahwa media cetak (koran/majalah) seharusnya melayani kepentingan publik, itu sebenarnya adalah tuntutan di tataran profesionalisme dan bukan di tataran hukum formal. Dalam masyarakat demokratis seperti di Eropa, lazim ditemukan surat kabar berhaluan kiri, pro buruh, mendukung partai sosial-demokrat, Kristen atau juga konservatif.

Bahkan di Amerika Serikat, ketiadaan koran partisan sebenarnya dalam derajat tinggi lebih disebabkan alasan bisnis: kalau Anda diketahui adalah koran pendukung kandidat A, secara bisnis Anda akan merugi karena pendukung kandidat B tidak akan mau membeli koran Anda.

Dengan kata lain, koran Amerika tidak bersikap partisan bukan karena dilarang oleh sebuah lembaga otoritas – yang memang tidak ada – melainkan karena kalkulasi bisnis biasa.

Berkaca pada Indonesia, koran partisan atau koran partai juga bukanlah sesuatu yang asing dalam sejartah pers yang panjang. Kita tak lupa Kompas semula adalah media Partai Katolik, Pedoman adalah suratkabar Partai Sosialis Indonesia, Abadi adalah koran Masyumi, Suara Karya adalah koran Golkar dan sebagainya. Kini pun kita tahu Jurnal Nasional adalah suratkabar Partai Demokrat dan Media Indonesia adalah corong Partai Nasional Demokrat.

Perlu ditekankan, di tataran etika, tetap ada tuntutan bahwa sebuah koran partai harus menyajikan muatan isi secara berimbang, objektif, jujur dan akurat. Hanya saja, tuntutan terakhir ini pun bukan aturan hukum. Dengan kata lain, secara hukum adalah sah saja bagi sebuah suratkabar beroperasi sebagai media propaganda kepentingan tertentu. Secara hukum koran tidak bisa dituntut karena hanya menyiarkan kampanye partai A dan mengabaikan partai B.
Kebebasan ini yang tidak dimiliki oleh lembaga penyiaran.

Di dalam negara demokratis, perilaku media penyiaran diawasi oleh lembaga regulator yang akan dengan segera menindak media yang bersikap tidak adil. Ancaman sanksinya pun bisa sangat serius. Sebuah stasiun televisi bisa dicabut izin penyiarannya bila ia terbukti menjadi agen propaganda salah satu kandidat sehingga bersikap tak adil pada lawan politik kandidat tersebut.

Sebagai contoh di Amerika serikat terdapat ketetapan Federal Communications Commission (FCC) tentang ‘equal time rule’. Dalam aturan ini, setiap stasiun televisi atau radio wajib menyediakan waktu seimbang bagi setiap kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu. Bila stasiun menyediakan satu jam siaran penuh bagi salah satu kandidat untuk berkampanye, media itu wajib menyediakan kesempatan yang sama – panjang waktu siaran sama, jadwal tayang yang setara, jumlah audiens seimbang – pada kandidat lain.
Dikecualikan dalam kewajiban ini adalah program berita, laporan mendalam atau dokumenter.

Tak bisa dipungkiri, upaya memaksa lembaga penyiaran bersikap berimbang ini sebenarnya juga tidak mudah. Sebagai contoh, jaringan penyiaran televisi Fox di AS dikenal sebagai media anti-Obama, baik di masa kampanye maupun di masa hidup normal. Hanya saja sikap partisan ini ditampilkan dengan gaya lihai. Sebagai contoh, dalam talkshow, mereka tetap menyajikan perwakilan dua kubu. Tapi segenap pertanyaan yang diajukan, cara membingkai masalah, atau kesempatan bicara mereka yang diundang sangat bias anti-Obama. Dalam kasus seperti ini, tidak mudah FCC mengambil penilaian bahwa FOX bersikap partisan karena bukti empirik dan konkritnya tak tersedia. Namun demikian, secara hukum, media seharusnya menerapkan perlakuan yang adil pada setiap kandidat.

Karena itu, kembali ke pertanyaan awal, sejumlah hal bisa digarisbawahi. Untuk media cetak, pemaksaan agar media bersikap netral dalam kampanye tidak bisa dilakukan mengingat prinsip kebebasan pers. Dalam hal media penyiaran, ada hal yang dapat diatur ada yang tidak.

Yang tidak bisa diatur adalah misalnya kepemilikan lembaga penyiaran oleh seorang aktivis politik termasuk kandidat presiden. Bila ada pelaku politik ingin menginvestasikan uang puluhan atau ratusan miliar untuk memiliki stasiun televisi, Itu adalah hak mereka sepenuhnya. Kalaupun stasiun televisi milik pelaku politik itu kemudian menunjukkan bias pro-pemilik, yang misalnya ditunjukkan oleh banyaknya diskusi tentang visi salah satu kandidat, itu adalah hak media yang harus dilindungi.

Sebaliknya, yang bisa diatur adalah bahwa keberpihakan itu tak menjadikan isi siaran mereka mengkhianati hak publik untuk memperoleh informasi yang berimbang. Yang tidak boleh adalah bersikap diskriminatif. Yang jelas dilarang adalah mengklaim diri sebagai sebuah stasiun pembawa bendera kandidat tertentu.

Iklan Politik

Isu keberpihakan dan keadilan media ini lazim menjadi semakin mengemuka dalam masa menjelang pemilu. Dalam hal iklan politik berbayar melalui lembaga penyiaran, ada perbedaan pengaturan antar negara.

Amerika Serikat memiliki aturan yang sangat bebas. Setiap partai atau kandidat yang bertarung dalam pemilu dapat meluncurkan iklan kampanye sebanyak-banyaknya di media manapun. Isi kampanyenya pun dapat mengandung serangan langsung antar pihak. Yang dilarang hanyalah penyebaran fitnah.

Kampanye yang didanai oleh pihak ketiga pun dimungkinkan. Sebagai contoh bila asoasisi guru dan orangtua ingin mendukung salah satu kandidat, organisasi ini bisa membayar iklan untuk menunjukkan dukungannya atau bahkan mengajak masyarakat menolak salah satu calon. Isi iklan pihak ketiga ini seringkali jauh lebih keras dan tajam dibandingkan iklan kampanye yang diluncurkan para petarung dalam pemilu itu sendiri.

Wilayah yang diatur oleh FCC dalam soal kampanye sangat sedikit. Sebagai contoh, media penyiaran tidak boleh bersikap diskriminatif. Kalau terhadap kandidat A, media menetapkan tarif iklan tertentu, tarif yang sama harus diberikannya pada kandidat yang lain. Kalau disimulasikan ke Indonesia, tidak bisa mentang-mentang RCTI dimiliki Hary Tanoe, RCTI memberi tarif iklan yang jauh kebih murah terhadap Partai Hanura dibandingkan pada Partai Golkar.
Bila praktek diskriminatif itu dilaporkan salah satu partai, stasiun televisi itu akan terancam sanksi serius.

Corak pengaturan yang longgar itu kerap dituding sebagai salah satu penyebab mahalnya kampanye pemilu di AS sehingga hanya mereka yang berdana besar saja bisa bertarung di sana.

Halnya negara-negara demokratis di Eropa, pengaturan kampanyenya banyak yang jauh lebih ketat. Di Inggris, Jerman dan Prancis , iklan politik di media penyiaran swasta sama sekali dilarang. Pelarangan ni tidak hanya berlaku untuk iklan yang jelas-jelas mengkampanyekan kandidat tertentu namun juga semua bentuk iklan politik yang dapat mempengaruhi pendapat publik tentang isu kontroversial. Sebagai contoh, bahkan iklan kementerian tertentu tentang arti penting menaikkan harga BBM di saat ada kontroversi tentang kenaikan BBM menjadi hal terlarang.

Ini tentu saja tidak berarti kampanye dan penyebarluasan gagasan kebijakan tidak bisa dilakukan melalui televisi atau radio, hanya saja tidak boleh dalam bentuk berbayar. Para kandidat tetap bisa menjangkau publik luas, hanya saja harus melalui program siaran tidak berbayar yang dikendalikan oleh media – misalnya dalam bentuk talk show – dan media tersebut tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap pihak-pihak yang bersaing.

Ini memang lebih dimungkinkan dilakukan di Eropa Barat daripada di AS karena negara-negara tersebut lazimnya memang memiliki tradisi lembaga penyiaran publik non-komersial yang kuat, seperti BBC di Inggris. Karena tidak berorientasi pada pencarian keuntungan dan tidak bergantung pada iklan, lembaga penyiaran public ini berpotensi menjadi sarana yang efektif bagi komunikasi politik para pelaku politik tersebut.

Keputusan untuk mengharamkan iklan kampanye di lembaga penyiaran ini dilandasi semangat untuk menjaga keadilan antara kandidat yang kaya dan miskin. Rezim penyiaran di Eropa Barat memang tidak pernah terlalu percaya pada prinsip pasar bebas. Mereka menganggap bahwa hak publik untuk memperoleh informasi beragam tentang proses politik yang menyangkut kehidupan masyarakat luas adalah jauh lebih besar daripada hak media untuk bersiaran secara bebas.

Di antara kedua kubu itu, juga ada pola pengaturan moderat. Sebagai contoh, Kanada mengizinkan iklan berbayar di media penyiaran tapi dengan sejumlah pembatasan. Misalnya saja, pembatasan terhadap jumlah waktu siaran yang bisa dialokasikan untuk kampanye atau batasan tentang jumlah dana kamapnye iklan melalui televisi yang boleh dikucurkan.

Kasus Indonesia

Indonesia memiliki pengaturan yang sebenarnya bersemangatkan kebabasan, namun dengan sejumlah pembatasan.
Untuk media cetak, Indonesia percaya pada prinsip pasar bebas. UU Pers 1999 memberi kebebasan bagi media untuk menentukan sendiri isi yang disajikan pada khalayak. Yang ada sekadar pernyataan umum bahwa media harus memenuhi hak masyarakat untuk tahu.

UU Penyiaran 2002 juga tidak secara eksplisit mengharamkan pemanfaatan media untuk kepentingan politik. Seperti juga Amerika Serikat, UU ini tidak melarang iklan politik melalui media penyiaran.

Namun UU ini bergerak lebih jauh daripada UU Pers dengan menyatakan bahwa isi siaran wajib ‘dijaga netralitasnya’ dan ‘tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu’. Hanya saja UU ini tidak menetapkan bentuk sanksi yang dapat dikenakan bila media melanggarnya.

Di pihak lain, UU ini mengamanatkan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia yang diberi kewenangan menetapkan apa yang disebut sebagai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Di dalam P3-SPS inilah kita bisa menemukan pengaturan lebih terperinci mengenai perilaku politik media. Dalam pasal 22, dikatakan bahwa lembaga penyiaran harus menampilkan muatan jurnalistik yang berimbang, adil dan tidak beritikad buruk. Dalam pasal yang sama dikatakan bahwa lembaga penyiaran harus menjaga independensi dan tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal, termasuk ‘pemodal’ atau ‘pemilik lembaga penyiaran’.

KPI bahkan membuat pasal khusus tentang siaran pemilu (pasal 50), yang antara lain mengharuskan media bersikap adil dan proporsional serta tidak boleh bersikap partisan terhadap peserta pemilu.

Terlihat bahwa peraturan tersebut memang masih terkesan abstrak, namun tetap memberikan kewenangan bagi KPI untuk secara berkelanjutan menjaga agar media penyiaran tidak terjebak dalam sikap partisan berlebihan atau menjadi agen propaganda yang tidak berimbang.

Satu lagi yang penting adalah UU Pemilihan Presiden (2008) dan UU pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD (2012) yang memuat batasan-batasan lebih terperinci. Hanya saja aturan yang termuat di sini hanyalah yang terkait dengan penggunaan media di masa kampanye, yaitu tiga hari setelah KPU menetapkan nama-nama calon sampai masa tenang sebelum pemilihan berlangsung.

Dalam hal isi iklan kampanye, aturannya sebenarnya cukup longgar. Dalam UU ini, sama sekali tidak ada ketetapan yang melarang iklan berisikan serangan dari satu kandidat pada kandidat pesaing. Yang dilarang adalah penghinaan, tapi bukan kritik.

UU ini juga mengatakan bahwa dalam pemberitaan pemilu, lembaga penyiaran harus berlaku adil dan berimbang pada seluruh calon. Akan halnya iklan kampanye, UU ini bahkan menetapkan bahwa pasangan calon hanya boleh menyajikan iklan kampanye selama 300 detik (lima menit) di setiap stasiun televisi atau 600 detik (sepuluh menit) di setiap stasiun radio per hari. Selain itu dikatakan pula bahwa lembaga penyiaran menetapkan harus standar tarif iklan kampanye yang sama pada semua calon.

Diperlukan Pengawasan yang Aktif dan Adil

Sebagaimana terlihat, Indonesia sebenarnya memiliki peraturan-perundangan yang di satu sisi melindungi kebebasan pers dan di pihak lain dapat digunakan untuk melindungi kepentingan public dari penyalahgunaan media untuk kepentingan sempit dalam proses politik.

Namun ada sejumlah catatan penting.

Pertama, pola pengaturan semacam ini memang lebih menguntungkan mereka yang memiliki dana besar untuk kampanye. Aturan tentang jumlah tayangan iklan yang hanya 300 detik per televisi per hari hanya berlaku di masa kampanye yang relatif singkat. Di luar masa kampanye, sama sekali tak ada pembatasan iklan. Terlebih pula, dengan tariff iklan yang bisa mencapai Rp 30 juta per 30 detik, tetap saja diperlukan kantong yang tebal untuk memanfaatkan masa kampanye dengan seoptimal mungkin.

Kedua, karena iklan politik dimungkinkan, bisa diperkirakan kampanye politik melalui televisi dan radio sesungguhnya sudah dimulai jauh hari sebelum masa kampanye resmi dimulai. Konsekuensinya, karena dilakukan sebelum masa kampanye, iklan politik semacam itu – misalnya iklan Prabowo, ARB atau iklan Hanura dan Nasdem – tidak harus tunduk pada aturan kampanye.

Ketiga, di luar soal iklan kampanye, yang bisa diatur adalah soal isi jurnalisitik yang harus netral, berimbang dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu. Yang harus mengawasi pelaksanaan peraturan ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam hal ini, persoalan besarnya ada pada bagaimana menentukan netralitas sebuah media. Kalau Metro TV menyiarkan pidato Surya Paloh selama 8 menit dalam program berita mereka, Metro bisa saja berdalih bahwa pidato itu ditayangkan karena nilai beritanya. Dalam hal ini memang tak mudah bagi lembaga otoritas seperti KPI untuk mempersoalkan kewenangan redaksi sebuah media untuk menatapkan yang mereka pandang sebagai bernilai atau tidak bernilai berita.

Karena itu, saat ini, mungkin yang lebih diperlukan adalah masyarakat yang cerewet dan secara terbuka mengecam bentuk-bentuk penyelahgunaan media oleh kepentingan politik tertentu, kalau masyarakat memandang bahwa praktek itu terjadi di layar televisi atau siaran radio. Bila media menyadari bahwa keberpihakan mereka akan merugikan secara bisnis dan politik, sangat mungkin mereka akan bererilaku secara lebih professional.

(Tulisan ini sudah dimuat di majalah Indoensia 2014 edisi 4/2013)