Ade Armando (29 januari 2012)
Salah satu hal yang nampak nyata dalam kisruh UI yang berlangsung saat ini adalah bungkamnya sebagian besar Badan Eksekutif Mahasiswa UI.
Memang masih ada setidaknya tiga BEM yang secara konsisten menggugat korupsi dan kebobrokan Ui di bawah Rektor Gumilar Somantri: BEM Fakultas Ilmu Komputer, BEM Fakultas Ekonomi dan BEM Fakultas Kedokteran. Namun yang lainnya, bungkam seribu bahasa. Di kampus UI Salemba setidaknya sampai kemarin (28 Januari 2012) terpampang spanduk dan poster dari tiga BEM itu yang berisikan tuntutan agar ada pengusutan tuntas atas korupsi di UI.
Tapi hanya itu. Hanya 3 BEM.
Ini menyedihkan karena kebusukan Rektor UI sebenarnya terpampang jelas. BPK sudah menyatakan gara-gara kelakuan Rektor yang semena-mena dalam hal pembangunan Rumah Sakit dan melego asrama mahasiswa Pegangsaan Timur, negara dirugikan Rp 45 miliar. KPK sudah melakukan penyidikan atas dugaan korupsi. Indonesian Corruption Watch sudah melapor ke Komisi Informasi Publik tentang ketertutupan Rektor untuk mengungkapkan informasi public mengenai pengelolaan keuangan UI.
Kelakuan buruk Rektor dan razim yang dipimpinnya bukan cuma itu. Dari soal bagaimana mereka menyunat dan membungakan miliaran rupiah uang penelitian, beasiswa, sponsor kegiatan untuk keperluan yang tak dipertanggungjawabkan; pembangunan perpustakaan Rp 120 miliar yang sekarang saja sudah bocor, rompal-rompal dan banyak sarana di dalamnya rusak; pembiayaan makanan anjing dan pembiayaan perkawinan adik Gumilar yang turut ditanggung UI dan rekanan UI; upah pekerja kebersihan yang cuma Rp 500 ribu per bulan; penyuapan media; sampai terbengkalainya pembangunan gedung Art and Cultural Center — adalah rangkaian bukti keburukan kepemimpinan sang Rektor yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat indoensia.
Tapi kenapa para mahasiswa diam? Sebagian aktivis BEM menyatakan mereka tak mau gegabah terlibat dalam apa yang mereka gambarkan sebagai ‘konflik elit’. Tapi, setelah itu mereka pun cuma diam. Maksud saya, kalau mereka tak mau begitu saja percaya dengan informasi-informasi yang mungkin berseliweran, ya lakukanlah investigasi. Datanya tersedia banyak. Tapi saya rasa pernyataan itu sebenarnya sekadar alasan yang dicari-cari agar mereka tetap nampak bertanggungjawab. Mereka diam karena mereka memang tak ingin menegakkan kebenaran.
Saya rasa ada setidaknya tiga penjelasan terhadap kebungkaman BEM ini. Pertama, soal ketiadaan integritas dan komitmen pada kebenaran. Kedua, pengecut. Ketiga, manipulasi agama.
Yang pertama terjadi karena memang di kalangan pimpinan BEM sudah tidak laku pandangan bahwa sebagai warga UI mereka seharusnya menempatkan kepentingan public di atas segalanya. Para aktivis BEM sekarang mungkin memandang BEM tak lebih daripada sekadar OSIS. Mereka memandang BEM sebagai wadah mencari popularitas dan karena itu berorientasi pada kegiatan hura-hura. Mereka sama sekali tak peduli bahwa di lingkungan mereka, mereka setiap hari bertemu dengan para pekerja kebersihan yang digaji Rp 500 ribu per bulan. Mereka sama sekali tak peduli dengan isu korupsi dan keadilan social karena memang tidak peduli saja.
Tambahan lagi, Gumilar memang pintar menyenangkan hati para borjuis muda ini. Gumilar menyediakan segala fasilitas mewah dan nyaman yang memanjakan: dari Starbucks, 100 buah Mac, Gold Gym, danau indah, klub olahraga berkuda, klub Cricket, atau fasilitas Cinema (belum jadi sih, tapi sudah ada lokasinya). Bahkan Gumilar dengan murah hati menawarkan bea siswa ke Jepang untuk para ketua BEM. Jadi, buat para Ketua OSIS ini memang apa gunanya juga bersikap kritis?
Kedua, pengecut. Jangan bayangkan pimpinan BEM sekarang adalah tipe-tipe orang-orang pemberani untuk menegakkan kebenaran. Ketika gerakan Save UI dimulai pada September 2011, seorang Ketua BEM menghampiri saya untuk meminta bantaun agar kami di save UI dapat melindungi dia saat berhadapan dengan Dekannya. Kami tentu saja dengan senang hati akan membantu dia kalau dia mengalami masalah dengan Dekannya akibat keterlibatan dia dalam gerakan menggugat rektor. Tapi fakta bahwa dia harus memohon bantuan semacam itu nampaknya mencerminkan berapa kecil nyali dia. Sebagai catatan, belakangan sang Ketua BEM ini jadinya memang tak lagi terlibat dalam gerakan menggugat korupsi di UI. Dari tampangnya, sejak awal saya tahu dia memang penakut.
Ketiga, dan ini yang paling serius, adanya manipulasi agama oleh kubu rektor.
Untuk itu,saya perlu menjelaskan sedikit tentang konstalasi politik mahasiswa UI, setidaknya dari apa yang saya pelajari dari sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam gerakan kemahasiswaan.
Sejak bangkitnya Islam politik di Indonesia pada 1990an – dengan ICMI, Habibie dan sebagainya – di kampus juga terjadi konsolidasi komunitas-komunitas mahasiswa muslim. Orientasi utama mereka bukanlah politik.
Mereka lebih memandang diri sebagai gerakan dakwah yang berusaha mewujudkan kehidupan kampus yang Islami. Tapi mereka sadar bahwa untuk mencapai tujuan itu, mereka harus menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan yang ada. Dengan kata lain, untuk berdakwah mereka berpolitik.
Komunitas-komunitas muslim ini terus merapatkan diri sehingga sekarang pada dasarnya BEM-BEM di UI dikuasai kelompok-kelompok muslim yang kerap dipanggil dengan sebutan kaum ‘’tarbiyah’. Disebut begitu, karena ‘tarbiyah’ pada dasarnya berarti proses pembimbingan dan pengembangan.
Jadi, gerakan besar Islam ini pada dasarnya berintikan pengajian-pengajian di tingkat musholla-musholla kampus. Dalam kelompok-kelompok pengajian itu berlangsung pembinaan dan bimbingan yang dilakukan para senior kepada para yuniornya.
Kemenangan demi kemenangan di berbagai BEM bisa dicapai antara lain karena kekompakan komunitas-komunitas tarbiyah tersebut. Mereka memiliki kesadaran politik tinggi yang antara lain ditandai dengan tingginya tingkat partisipasi mereka dalam pemilihan-pemilihan BEM. Jadi, sementara kubu lain harus banting-tulang mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi, kaum Tarbiyah dengan jaringan sosialnya yang solid dengan mudah memobilisasi pemilih.
Kelompok-kelompok ini aktif merekrut jemaah sejak tahun pertama para mahasiswa baru masuk ke UI. Perekrutan biasanya berlangsung melalui sel-sel di pusat kegiatan keislaman, seperti musholla. Setiap sel yang terdiri dari sejumlah mahasiswa dipimpin mentor. Tentu saja yang dibina bukan cuma soal ibadah-ibadah ritual, melainkan juga keimanan, ketaqwaan dan komitmen ideologis mereka. Bahkan perjodohan pun berlangsung dalam komunitas-komunitas tersebut.
Komunitas-komunitas di berbagai fakultas ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka memiliki kesadaran kolektif sebagai kesatuan. Pada dasarnya ada struktur hierarkis di mana jemaah mengikuti tuntunan dan perintah imam. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya saat ini ada semacam pemerintah bayangan di UI, di luar struktur resmi organisasi-organisasi kemahasiswaan. Jadi, di puncak ada yang seorang imam beserta semacam Majelis Syuro yang membicarakan masalah-masalah UI atau membuat grand strategy untuk menguasai UI.
Keputusan untuk mengajukan nama sebagai kandidat BEM pun ditentukan oleh Majelis dan Imam ini. Jadi tidak boleh ada nama kandidat dari kelompok Islam yang tidak direstui. Kalau tidak direstui artinya akan menghadapi tantangan bahwa mereka tidak akan didukung oleh suara besar.
Harap dicatat, komunitas besar ini tidak dicirikan dengan keinginan mendirikan Negara Islam, seperti Hizbut Tahrir atau NII. Mereka tidak radikal. Mereka pada dasarnya gerakan damai yang berobsesi mempersatukan para pemuda-pemuda muslim terbaik untuk membangun sebuah negara yang lebih Islami. Ciri-ciri aktivis tarbiyah ini adalah tidak merokok, tidak berpacaran, berjilbab (yang perempuan), rajin sholat, mengaji, music yang digemarinya nasyid, puritan. Mereka tidak memusuhi non-muslim. Mereka tidak eksklusif. Mereka cukup terbuka.
Dan jaringan inilah yang dimanfaatkan Gumilar dan kawan-kawan.
Kata dimanfaatkan adalah kata yang rasanya tepat karena Gumilar pada dasarnya, saya percaya, tak pernah memiliki karakter khas seorang aktivis muslim. Bahkan dapat dikatakan karakter Gumilar adalah bertolakbelakang dengan karakter kaum tarbiyah. Sejak mahasiswa Gumilar tak pernah dikenal sebagai aktivis yang memperjuangkan (nilai-nilai) Islam. Ia menanjak kariernya berkat kedekatan dengan Dr. Manasse Malo, mantan Dekan FISIP yang memiliki agenda Kristen sangat kental. Kemudian ia dekat dengan — dan bahkan disebut menghamba pada — Mochtar Riyadi, pengusaha terkenal yang juga sangat kental agenda Kristennya.
Di luar itu, Gumilar memilihara sembilan anjing. Kecenderungan klenik dan mistis Gumilar semakin memperkuat gambaran dia sebagai ‘nggak Tarbiyah banget’.
Namun Gumilar adalah politisi lihai. Ia menghimpun dan didukung orang-orang yang membawa agenda Islam politik. Sentimen keislaman sudah dibangun Gumilar sejak menjadi Dekan. Dalam kampanye Dekan, Gumilar sudah menggunakan isu agama, antara lain dengan menyatakan bahwa FISIP ada di bawah ancaman Kristen. Saya mengalami langsung didekati para pendukungnya yang meniupkan isu bahaya Kristen dalam rangka membujuk saya untuk mendukung Gumilar.
Di Fakultas itu pun, Gumilar sudah mengajak Kamarudin (sekarang Dr. Kamarudin), lulusan Departemen Ilmu Politik untuk menjadi Manager Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni FISIP UI (2002-2007). Ketika menjadi Rektor, Gumilar menempatkan Kamarudin sebagai Direktur Kemahasiswaan UI.
Dalam kaitan dengan gerakan tarbiyah, Kamarudin menempati peran penting. Ia adalah mantan Ketua Senat FISIP sekitar tahun 1995. Satu fakta penting adalah bahwa dia datang dari satu generasi bersama-sama Fahri Hamzah, anggota DPR dari PKS yang dulu merupakan Ketua Forum Studi Islam FE. Mereka saling mendukung. Selain itu ada pula aktivis-aktivis kampus yang sekarang menjadi anggota PKS: Rama Pratama, Dzulkiflimansyah, dan Slamet Nurdin. Di antara mereka berlima, hanya Kamarudin yang menetap di kampus.
Namun justru karena bertahan di kampus itulah, Kamarudin menempati posisi penting. Dalam lingkungan Tarbiyah, Kamarudin berstatus ‘Aktivis Dakwah Kampus Permanen’ (ADKP) – jadi semacam tokoh politik yang karena posisinya dalam lembaga structural tingka tertinggi akan mampu mengarahkan agar UI menjadi kampus Islami.
Di bawah Gumilar, Kamarudin selalu diserahkan tugas pada pos kemahasiswaan untuk mengendalikan mahasiswa. Di fakultas-fakultas yang dipimpin para Dekan pro-Gumilar, sang Rektor juga biasa menempatkan aktivis dakwah sebagai Ketua Mahalum (Mahasiswa dan Alumni).
Menurut sumber, kekuatan Tarbiyah UI paling kuat di Fakultas MIPA. Kantin di FMIPA dinamakan DALLAS yang secara seloroh dibilang merupakan kependekan dari ‘Di bawah lindungan Allah SWT’.
Hubungan Gumilar-Kamarudin dan BEM-BEM Tarbiyah ini sebenarnya sempat memburuk pada sekitar 2008 ketika BEM-BEM diserahkan kepercayaan untuk membuat skema Biaya Opersional Pendidikan Berkeadilan, yang dimaksudkan sebagai skema untuk meringankan SPP mahasiswa. BEM-BEM ini sudah dengan sangat baik membuat skema BOPB yang memang berpihak pada rakyat. Nyatanya skema/matriks itu diubah-ubah oleh rektorat, sehingga tujuan awalnya tidak tercapai. Gara-gara manipulasi BOPB ini sempat tumbuh gerakan mengecam Gumilar pada 2009, yang sempat memunculkan rencana pembekuan BEM oleh Rektor. Tapi saat itu, ketegangan diselesaikan dengan cara Gumilar membatalkan rencana itu seraya menyalahkan Kamarudin.
Toh, ketegangan tidak berlangsung lama. Gumilar kemudian melakukan langkah-langkah yang menyenangkan hati kaum tarbiyah dengan berbagai cara. Misalnya saja dengan mendirikan masjid megah dengan dana Saudi di Salemba. Keputusan memberikan gelar Honoris causa kepada sang Raja Saudi, antara lain dengan alasan peran sang Raja dalam membelaPalestina, juga sejalan dengan itu.
Atau dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi aktivitas keislaman. Misalnya saat ada larangan bagi organisasi-organiasi intra universitas dan fakultas untuk membuat acara di luar kampus, seperti malam pelantikan mahasiswa baru di luar kota, Kamarudin ternyata mengizinkan organisasi Islam untuk menyelenggarakan acara di luar kota.
Di masa penerimaan Mahasiswa Baru, Rektorat juga sudah dua tahun menyelenggarakan semacam kegiatan membangkitkan motivasi secara spiritual (SQ) oleh motivator sekaligus pendakwah.
Kerana manipulasi citra inilah, Rektor kemudian dapat menjinakkan BEM-BEM d luar BEM Fasilkom, BEM FE dan BEM FK. Para punakawan Gumilar dengan licik membangun kesan bahwa serangan terhadap Gumilar adalah persekongkolan jahat antara kaum liberal-sekuler dan Kristen. Kebetulan memang yang menjadi ikon saat Save UI dan Pelita UI mulai menggugat Gumilar adalah Emil Salim yang digambarkan sebagai bagian dari ‘mafia Berkeley’. Dengan demikian, mereka membangun kesan bahwa Gumilar sebenarnya hanya menjadi korban fitnah kalangan yang anti-Islam.
Sejauh ini manuver Gumilar dalam memberangus mahasiswa nampaknya sangat berhasil. Sejumlah aktivis mengakui bahwa saat ini ada instruksi dari Imam (entah siapa) dan Majelis Syuro’ bahwa BEM-BEM jangan bergerak — Mendukung Save UI tidak, Mendukung Rektor tidak perlu. Mungkin mereka juga tidak sepenuhnya percaya bahwa Gumilar bersih. Tapi mereka juga tidak ingin rezim yang menguntungkan mereka sampai goyah.
Buat saya, ini menyedihkan. Kalau BEM-BEM itu memang percaya bahwa mereka seharusnya menjalankan ajaran Islam, bukankah menjadi kewajiban mereka untuk menegakkan kebenaran? Menjadi muslim yang baik, bukanlah sekadar menjalankan sholat 5 waktu, berpuasa Senin-Kamis, mengaji dan menutup aurat. Menjadi muslim adalah juga bertindak saat di hadapan kita berlangsung kezaliman.
Kalau memang tak mau begitu saja percaya dengan tuduhan teradap rektor, kewajiban mereka adalah mencari tahu kebenaran. Karena bila karena diamnya mereka kezaliman berjalan terus, mereka tentu turut bertanggungjawab.
Namun argument ini memang hanya relevan kalau orang bersedia bersikap netral. Yang nampaknya terjadi, para pimpinan BEM-BEM itu sudah percaya bahwa mereka seharusnya tidak terlibat dalam upaya menggerus Rektor. Karena alasan agama, mereka percaya bahwa sikap yang benar adalah diam, bungkam.
Tentu saja adalah setiap orang untuk menentukan langkah politiknya, Namun bila kebungkaman mereka yang diberi amanah memimpin mahasiswa adalah karena mereka percaya itu adalah tindakan yang Islami, itu tentu luar biasa menyedihkan.