Pelajaran dari Galileo: Agama Tidak Pernah Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan

Cerita Galileo Galilei adalah cerita tentang kesalahan para pemuka agama menjaga kepercayaan umat manusia akan kebenaran sabda Tuhan.

Kalau saja dunia mengikuti apa yang disabdakan para pemuka Gereja di abad 17 mengenai kesesatan pikiran Galileo,   mungkin ilmu pengetahuan akan berkembang sangat lamban. Kalau saja perintah agar masyarakat tidak membaca daftar buku terlarang yang ditetapkan Gereja diikuti, pemahaman akan hukum Tuhan mengenai alam semesta mungkin tidak bergerak ke mana-mana.

Cerita Galileo adalah cerita yang menjelaskan mengapa kebebasan berpikir harus dilindungi untuk mencapai kemaslahatan bersama. Cerita Galileo adalah cerita yang menjelaskan mengapa agar agama tetap hidup, para pemuka justru harus menghargai perbedaan, betapapun itu mungkin nampak bertentangan dengan  keyakinan yang sedang berlaku.

Matahari sebagai Pusat Alam Semesta

Kehidupan Galileo Galilei (1564-1642) memang jauh dari biasa. Di satu sisi, ilmuwan Italia ini dipuja-puja. Namun di masa hidupnya, oleh gereja, ia dicap sebagai ilmuwan yang sesat dan menyesatkan.

Sampai saat ini, ia kerap dianggap salah seorang ilmuwan yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan metode ilmiah di dunia. Sumbangan penemuannya terentang di banyak wilayah: fisika, matematika dan astronomi. Belakangan, Albert Einstein bahkan menyebutnya sebagai Bapak Fisika Modern.

Untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, Galileo  senantiasa berusaha mencari pembuktian kebenaran  dalam dunia empirik melalui rangkaian eksperimen. Ini menjadi penting mengingat di masa-masa sebelumnya, umumnya  pengetahuan tentang kebenaran ditentukan para filsuf yang mendasarkan pandangannya pada pikiran dan penyelidikan kualitatif. Galileo menemukan kebenaran berdasarkan bukti empirik  dan penghitungan secara kuantitatif.

Ada begitu banyak teori dari kaum cerdik cendekia di masa lalu yang digugat Galileo, termasuk Aristoteles. Namun salah satu sumbangan terbesarnya dalam dunia pengetahuan adalah justru tatkala ia memberikan bukti yang memberi pembenaran atas teori yang dibuat Copernicus tentang alam semesta.

Nicolaus Copernicus (1473-1543), yang wafat beberapa tahun sebelum Galileo lahir,  percaya bahwa pusat alam semesta adalah matahari — dan bukan bumi seperti yang dipercaya sebelumnya. Menurutnya, bumi berputar, sementara matahari diam. Hanya saja, biarawan asal Polandia itu mendasarkan teorinya tersebut sekadar pada pengamatan mata telanjang,  ditambah dengan bacaan, pemikiran dan hitungan matematis. Bisa dibilang, ia dia tidak memiliki bukti empiris pendukung apapun.

Galileo memberikan bukti yang dibutuhkan untuk membenarkan teori Copernicus. Dengan teleskop yang ia buat sendiri, ia menemukan gejala-gejala alam yang menunjukkan bahwa bumi dan planitnya berputar mengelilingi matahari.

Ia juga terkenal dengan teorinya bahwa gerak pasang surut samudra merupakan bukti bahwa Bumi memang berputar di ruang angkasa. Dia menganggap pasang surut adalah konsekuensi alam akibat gerakan Bumi. Logikanya kira-kira begini: jika Bumi tetap diam, bagaimana bisa airnya mengalir terus, naik turun dengan dengan interval teratur di sepanjang pantai?

Gara-gara pandangan dan ‘penemuannya’ itu, Galileo  menjadi begitu termashur. Namun itu sekaligus menghadapkannya dengan para pemuka gereja.

Masalahnya, penguasa Gereja Katolik pada saat itu tidak suka dengan pandangan kosmologis heliosentris (berpusat pada matahari) yang diperkenalkan Copernicus. Gereja  lebih percaya pada pandangan yang diwariskan filsuf besar Yunani Aristoteles yang melihat bumi sebagai pusat semesta (geosentris).

Bagi Gereja, teori Copernicus itu absurd. Pandangan itu dihujat bukan saja karena bertentangan dengan pemikiran para filsuf besar yang dianggap identik dengan kebenaran sejati, tapi juga karena dianggap menentang akal sehat — mengingat manusia dengan mata telanjang melihat matahari mengedari bumi dengan terbit di timur dan tenggelam di barat.

Ada pula logika awam yang lain: bila memang bumi berotasi dan begerak, sebuah bola yang dilemparkan tegak lurus ke udara seharusnya tidak akan jatuh kembali ke tangan pelemparnya, melainkan mendarat kembali di kejauhan. Atau argumen ini: bila memang bumi berotasi, manusia akan menderita pusing karena harus berputar setiap hari

Apalagi ada kalimat Tuhan dalam Injil yang seolah-olah memberi pembenaran soal itu. Sebuah ayat menyatakan: “Oh Tuhanku, Kaulah yang Mahabesar . . . Kau pancangkan bumi pada dasarnya, tidak bergerak untuk selamanya (Mazmur 104: 1-5).”

Gereja berkeras bahwa Al-Kitab menyatakan dengan tegas bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Dalam Injil juga termuat kutipan pernyataan (Nabi) Sulaiman: “matahari terbit dan matahari tenggelam dan bergegas kembali ke tempatnya terbit.”

Bagi para petinggi Gereja, pernyataan Sulaiman itu tidak mungkin salah, karena Sulaiman adalah orang yang berbicara tidak hanya atas inspirasi Tuhan. Sebagaimana dalam tradisi Islam, Sulaiman dianggap oleh para pemuka Gereja sebagai orang yang paling bijak dan terpelajar dalam ilmu pengetahuan tentang segala benda ciptaan Tuhan, dan kearifannya berasal dari Tuhan. Menurut mereka, adalah tidak mungkin Sulaiman memastikan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.

Kepanikan Gereja

Di pihak lain, ada pula situasi khusus yang memang sedang melanda Kristen. Gereja Katolik ketika sedang berada pada posisi yang agak panik, terutama akibat gelombang reformasi Protestan di Jerman pada 1517 yang mengakibatkan perang 30 tahun yang memakan ribuan korban nyawa.

Hampir bersamaan dengan itu, Eropa juga dihantui apa yang disebut Wabah Hitam, yang diawali oleh penyebaran  penyakit pes dari daratan Cina lewat tikus-tikus yang terbawa kapal-kapal dagang, dan menewaskan hampir sepertiga penduduk Eropa hanya dalam 25 tahun. Wabah ini dipercaya sebagai hukum yang diturunkan Tuhan pada manusia yang akidahnya telah rusak.

Dengan demikian, para pemuka agama menjadi begitu sensitif dengan apapun yang akan semakin melemahkan kepercayaan umat akan Gereja. Pada pertengahan abad 16, Gereja mengeluarkan serangkaian dekrit yang menetapkan batasan-batasan penafsiran agama. Mereka menolak desakan Martin Luther – Bapak Protestan – tentang hak untuk membaca sendiri Kitab Suci oleh pribadi-pribadi. Pada 1546, Gereja membuat pernyataan bahwa “tidak seorang pun boleh mengartikan Kitab Suci menurut pendapatnya sendiri dan melencengkan Kitab suci sekehendaknya.”

Pada 1564, tahun kelahiran Galileo, Gereja mengeluarkan  ketetapan yang mewajibkan setiap pejabat Gereja Katolik mengucapkan sumpah yang antara lain berbunyi: “Saya tidak akan menerima ataupun menafsrkan Kitab Suci dengan cara lain, kecuali yang telah disetujui secara bulat oleh Bapa-Bapa Gereja.”

Dengan begitu, ketika kemudian Galileo melempar bukti yang berbeda dengan keyakinan umum gereja ini,  ia pun dengan segera dituduh menyuarakan sebuah pandangan keliru yang dianggap akan merusak akidah umat. Para pemuka gereja menuduh Galileo akan mendorong kemurkaan Tuhan dengan logika sederhana: mula-mula teori-teorinya akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan akan isi kitab suci, lalu meragukan kebenaran sabda Tuhan dan otoritas gereja, sehingga akan tersesat menjauh dari jalan yang benar. Ini semua, pada gilirannya, akan membawa dunia pada terwujudnya janji ancaman hukuman Tuhan pada mereka yang kafir dan murtad.

Galileo yang malang harus berhadapan dengan serangkaian tembok. Pada 1616, ia diperintahkan Paus Paulus V untuk berhenti menyuarakan pandangannya yang mendukung hipotesis Copernicus itu. Paus, setelah mendengarkan penjelasan sebelas ahli teologi  menetapkan bahwa teori Copernicus “berlawanan dengan dogma Gereja”. Gereja  bahkan menyatakan gagasan Copernicus itu bukan saja “bodoh dan absurd” tapi juga “secara keimanan keliru”.

Keadaan memang sempat berubah. Pada 1623, seorang Paus baru – Urban VII – mengembalikan hak-hak Galileo untuk menekuni ilmu pengetahuan, meskipun tidak secara tegas mencabut larangan soal penyebaran gagasan heliosentris itu.

Gembira dengan pelonggaran ruang itu, Galileo kembali mempelajari teori yang sempat diabaikannya itu. Pada 1932, ia meluncurkan  buku Dialogue on the Two Chief World Systems yang semakin memperkuat hipotesis Copernicus. Kali ini kemarahan para pemuka agama tak lagi dapat dibendung. Ia diajukan ke pengadilan terbuka yang memaksanya untuk mencabut kembali teori-teori yang sudah ia publikasikan.

Buku Dialogue itu  ditarik dari peredaran dan tercatat dalam daftar buku terlarang oleh gereja Katolik. Galileo sendiri diperintahkan untuk secara permanen tak lagi bicara soal bumi yang mengelilingi matahari.

Karier keilmuan Galileo praktis terhenti. Meski tidak dipenjara, ia harus hidup dalam tahanan rumah. Ia juga sempat tak boleh menerima tamu, walaupun kemudian larangan itu dibatalkan. Bagaimanapun, ia tak diizinkan untuk membicarakan teori-teorinya dengan para tamunya. Dalam lima tahun terakhir kehidupannya, Galileo mengalami kebutaan. Pada 8 Januari 1642 Galileo meninggalkan dunia.

Seorang yang Beragama

Catatan sejarah saat ini menunjukkan bahwa Galileo sama sekali tidak pantas dikategorikan sebagai ilmuwan yang ingin menyesatkan umat Kristen. Galileo bukan tidak percaya pada Injil. Namun dia percaya bahwa Injil seharusnya tidak dinilai sebagai  kitab yang mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan kitab yang membawa manusia menemukan jalan keselamatan ke surga.

“Aku percaya bahwa Tujuan Kitab Suci adalah mengajak manusia menemukan kebenaran yang diperlukan demi tercapainya keselamatan,” tulis Galileo dalam salah satu suratnya. “karena ilmu pengetahuan alam tidak akan mampu melakukannya.”

Namun, tulis Galileo lagi, ia percaya bahwa Tuhan memberi manusia panca indera dan akal untuk menemukan sendiri ilmu pengetahuan yang tidak sedikit pun disebut dalam Kitab suci . Baginya, teologi berkaitan dengan perenungan ilahiah yang tertinggi yang  derajatnya berada di atas berbagai ilmu pengetahuan alam.

Karena itu, menurut Galileo, para pemuka agama seharusnya tidak menggunakan otoritas keagamannya untuk menghakimi ilmu pengetahuan, karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda.  Bila itu dilakukan, para pemuka Gereja  merendahkan agama ke tingkat spekulasi ilmu pengetahuan yang derajatnya lebih di bawah dan tidak ada hubungannya dengan keberkahan.

Dengan nada pahit, Galileo menulis: “Para pemuka agama ini tidak selayaknya merebut otoritas untuk memutuskan kontroversi di bidang-bidang yang tidak pernah mereka pelajari atau praktekkan. Ini mirip dengan seseorang yang zalim , yang bukan dokter atau arsitek, yang sadar bahwa dirinya memiliki kekuasaan lalu melakukan praktek pengobatan dan membangun gedung sesukanya – dengan mengambil risiko nyawa pasien-pasien yang malang dan runtuhnya gedung yang mereka bangun.”

Menurut Galileo Tuhan  menurunkan kitab suci dalam bahasa yang mudah dimengerti manusia. Tuhan dengan sengaja menyederhanakan efek-efek fisik di alam agar bisa dipahami oleh manusia awam.

Ia berulang-ulang menyatakan bahwa temuan-temuan keilmuan yang ia utarakan tidaklah perlu membuat orang menggugat kebenaran Kitab Suci. Ketika Galileo sadar bahwa tulisan-tulisannya telah menimbulkan kegoncangan di kalangan para pemeluk agama yang mempertentangkan ilmu pengetahuan dan Injil, dia menulis:

“Kitab Suci tidak bisa salah dan ketetapan-ketetapan yang ada di dalamnya mutlak benar dan tidak tergoyahkan. Aku hanya ingin menambahkan bahwa biarpun Kitab Suci tidak bisa salah, penafsiran terhadapnya bisa saja salah ketika mereka mengartikannya hanya secara harfiah kata per kata. Jika ini yang terjadi bukan hanya akan banyak kontradiktif yang muncul, tetapi juga bisa menggali kekufuran dan penghujatan karena kita akan memanusiawikan Tuhan.”

Toh segenap upayanya untuk meluruskan kebenaran tak didengar. Gereja tetap menghakimi pandangan Galileo sebagai kesesatan yang nyata. Dan ketika akhirnya ia dikucilkan, kepercayaan Galileo akan Tuhan tetap tak goyah.

Galileo menganggap bahwa hidup manusia, seperti apapun jalannya, adalah anugerah terindah dari tangan Tuhan. Menurutnya, “manusia mesti menerima nasib buruk bukan hanya dengan terima kasih melainkan juga dengan rasa syukur tak terbatas kepada Yang Maha Pemberi, yang memberi penderitaan itu agar kita terhindar dari cinta berlebihan terhadap hal-hal duniawi …”

Sebuah Pengakuan, Pada Akhirnya

Galileo memang bisa dibungkam Gereja. Namun, kebenaran ternyata menemukan jalannya sendiri. Kendati karyanya dilarang, warisan Galileo dilanjutkan oleh para muridnya dan komunitas ilmuwan lebih luas. Pandangan-pandangannya terus dibicarakan dan menginsiprasikan temuan demi temuan baru.

Sikap keras Gereja justru membawa pukulan balik yang tak diharapkan. Ketika masyarakat mempelajari kebenaran teori Copernicus dan Galileo, kredibilitas Gereja pun menjadi semakin goyah. Akibatnya, pemisahan agama dari sains nampak menjadi sesuatu yang sangat alamiah. Lebih buruk lagi, bagi sebagian kalangan skeptis, agama adalah musuh sains.

Pada abad 18, ilmu pengetahuan mengkohkan keyakinan Galileo tentang bumi yang bergerak. Namun baru  pada 1822, gereja mulai mengizinkan penerbitan buku-buku yang mengajarkan teori bahwa bumi bergerak. Tigabelas tahun kemudian,  Dialogue karya Galileo dicopot dari daftar buku-buku terlarang.

Bagaimanapun, perdamaian Gereja dengan sang ilmuwan berjalan sangat lamban. Pada 1982, Paus John Paul II membentuk Komisi Galileo yang terdiri dari empat kelompok untuk meneliti persoalan Galileo. Dan baru sepuluh tahun kemudian Paus John Paul II dengan terbuka menyatakan dukungannya atas pemikiran Galileo.

Di tahun itu, 350 tahun sejak meninggalnya Galileo, Paus menyayangkan bahwa “ketidakpahaman yang tragis telah ditafsirkan sebagai cerminan dari pertentangan mendasar antara sains dan iman.”

Perdamaian itu mungkin datang terlambat. Bagaimanapun, itu merupakan pelajaran penting tentang harga yang harus dibayar takala mereka yang merasa telah menemukan kebenaran ilahiah diberi hak untuk melarang orang lain mengungkapkan kebenaran yang lain. Bahwa, alih-alih membawa kebaikan, itu justru akan menjauhkan dunia dari kebenaran yang sesungguhnya.

(Ditulis ulang oleh Ade Armando berdasarkan buku terjemahan karya Dava Sobel, Putri Sang Galileo (Mizan: 2004) dan beberapa sumber lain. Tulisan ini dimuat di Majalah Madina edisi November 2008)

Ditulis dalam Religion. 8 Comments »

8 Tanggapan to “Pelajaran dari Galileo: Agama Tidak Pernah Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan”

  1. jack Says:

    Bagus sekali… pemikiran yang mencerahkan memang sering melompat dari realitas yang ada saat itu. Dan itu berlangsung sepanjang sejarah umat manusia…

  2. dildaar80 Says:

    thank’s ats artikelnya.

  3. Yusno Says:

    nice article! kadang2 memang orang yang berpikir jauh ke depan mlah dianggap aneh, bahkan gila.

  4. theodorus Says:

    semoga semangatnya demi umat manusia tetap bisa ditiru oleh semua orang meski banyak halangan

  5. pencari kebenaran Says:

    Problem hubungan agama dengan ilmu

    Sebelum kita berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialist.
    Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang kita kenal sebagai ‘saintisme’ yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang bersifat abstrak – gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa dimasukan sebagai wilayah ilmu).faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
    Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan ‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia,artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut pandang Tuhan dalam persoalan cara melihat dan memahami ‘ilmu’ manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
    Bila kita merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’ versi saintisme sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang konsep ‘realitas’ versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit,analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hard ware.
    Berangkat dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
    Ini adalah konsep yang bertentangan dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan (yang menjadi konsep agama) konsep ‘ilmu’ tidak bisa dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti langsung secara empirik oleh mata telanjang,sebab dibalik realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya pasti berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat konkrit tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk menangkap dan memahami realitas atau hal hal yang bersifat abstrak.dimana akal bila digunakan secara maksimal (tanpa dibatasi oleh prinsip materialistik) akan bisa menangkap konstruksi realitas yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu padukan yang abstrak dan yang konkrit),dan hati berfungsi untuk menangkap essensi dari segala suatu yang ada dalam realitas ke satu titik pengertian.

    Mengapa bisa terjadi sesuatu yang dianggap sebagian manusia sebagai ‘benturan antara agama dengan ilmu’ (?) bila dilihat dengan kacamata Ilahi sebenarnya bukan terjadi benturan antara agama dengan ilmu sebab baik agama maupun ilmu keduanya adalah dua aspek yang saling mengisi satu sama lain yang mustahil berbenturan,sebab ada saling ketergantungan yang mutlak antara keduanya.benturan itu terjadi lebih karena faktor kesalah fahaman manusia termasuk karena kesalahan manusia dalam membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagaimana yang dibuat oleh saintisme itu,
    Bila kita runut fitnah benturan antara agama dengan ilmu itu terjadi karena berbagai sebab,pertama : manusia membatasi definisi pengertian ‘ilmu’ diseputar wilayah dunia indera,sebaliknya agama tidak membatasi wilayah ilmu sebatas wilayah pengalaman dunia indera (karena ilmu harus mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang lahiriah-konkrit) sehingga otomatis ilmu yang di persempit wilayah jelajahnya (sehingga tak boleh menjelajah dunia abstrak) itu kelak akan menimbulkan banyak benturan dengan agama.jadi yang berbenturan itu bukan agama vs ilmu tapi agama versus definisi pengertian ‘ilmu’ yang telah dipersempit wilayah jelajahnya.
    Dan kedua : fitnah benturan ‘agama vs ilmu’ terjadi karena ada banyak ‘benalu’ didunia sains yang mengatasnamakan sains padahal ia cuma teori belaka yang bersifat spekulatif kemudian teori itu dibenturkan dengan agama sehingga orang awam melihatnya seperti ‘benturan agama dengan ilmu’ (padahal itu hanya fitnah).untuk dihadapkan dengan agama sains harus bersih dari teori khayali artinya sains tak boleh diwakili oleh teori yang tidak berdasar kepada fakta seperti teori Darwin,sebab bila saintis membuat teori yang tak sesuai dengan kenyataan otomatis pasti akan berbenturan dengan agama sebab konsep agama berlandaskan kepada realitas yang sesungguhnya (yang telah Tuhan ciptakan sebagaimana adanya).
    Dalam konsep Tuhan ilmu adalah suatu yang memiliki dua kaki yang satu berpijak didunia abstrak dan yang satu berpijak didunia konkrit,dan konsep ilmu seperti itu akan bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama.sebaliknya konsep ilmu versi kaum materialistik hanya memiliki satu kaki yang hanya berpijak didunia konkrit yang bisa dialami oleh pengalaman dunia indera sehingga dengan konsep seperti itu otomatis ilmu akan menjadi seperti sulit atau tidak bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama.
    Jadi bila ada fihak yang memprovokasi seolah ada ‘benturan antara agama versus ilmu’ maka kita harus analisis terlebih dahulu secara ilmiah jangan menelannya secara membabi buta,apalagi dengan bersikap a priori terhadap agama.kasus Darwin sama sekali bukan benturan antara agama vs ilmu tapi antara teori ‘ilmiah’ yang tidak berdasar fakta vs deskripsi kitab suci,begitu pula kasus Galileo itu bukan benturan agama vs ilmu tapi antara temuan ilmuwan vs penafsiran pendeta terhadap kitab sucinya yang belum tentu tepat,(tak ada ayat kitab suci yang secara astronomis menyatakan bumi sebagai pusat galaksi tata surya dan harus difahami saat itu pendeta melihatnya dari kacamata sudut pandang ‘filosofis’).
    ‘ilmu’ dalam saintisme ibarat kambing yang dikekang oleh tali pada sebuah pohon ia tak bisa jauh melangkah karena dibatasi wilayah jelajahnya harus sebatas wilayah pengalaman dunia indera sehingga ‘yang benar’ secara ilmiah menurut saintisme adalah segala sesuatu yang harus terbukti secara empirik (tertangkap mata secara langsung), dengan prinsip inilah kacamata saintisme menghakimi agama sebagai sesuatu yang ‘tidak berdasar ilmu’.
    Bandingkan ; dalam agama wilayah jelajah ilmu itu luas tidak dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia inderawi sebab itu ‘ilmu’ dalam agama bisa merekonstruksikan realitas secara keseluruhan baik yang berasal dari realitas yang abstrak (yang tidak bisa tertangkap mata secara langsung) maupun realitas konkrit (yang bisa tertangkap oleh mata secara langsung),jadi ilmu dalam agama tidak seperti kambing yang dikekang.
    Kemudian bila yang dimaksud ‘ilmu’ oleh kacamata sudut pandang saintisme adalah apa yang mereka sebut sebagai ‘sains’ maka itu adalah pandangan yang keliru,sebab untuk mendefinisikan apa itu ‘sains’ kita harus berangkat dari dasar metodologinya,bila metodologi sains adalah metode empirisme dimana parameter kebenaran ilmiah nya adalah bukti empirik maka kita harus mendefinisikan ‘sains’ sebagai ‘ilmu seputar dunia fisik-materi’ sebab hanya dunia fisik-materi itulah yang bisa dibuktikan secara empirik,sedang definisi pengertian ‘ilmu’ menurut versi Tuhan adalah alat atau jalan atau cara untuk mengelola dan memahami keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit (sehingga kedua alam itu bisa difahami sebagai sebuah kesatuan unit-sistem),dan metodologi ilmu versi Tuhan itu tidak dibatasi oleh keharusan bukti empirik sebab pertama : realitas itu terdiri dari yang abstrak dan yang konkrit sehingga untuk memahami keduanya secara menyatu padu otomatis metodologi ilmu tak bisa dikonsep harus sebatas yang bisa terbukti secara empirik sebab bila demikian maka dunia abstrak menjadi keluar dari konstruksi ilmu,dan kedua : secara alami manusia sudah diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ untuk menangkap dan memahami realitas atau hal hal yang bersifat abstrak.bila mata indera adalah alat untuk menangkap realitas dunia lahiriah-material,maka akal adalah alat untuk menangkap konstruksi dunia abstrak sedang hati menangkap essensinya.

    Jadi mesti diingat bahwa ‘sains’ pengertiannya kini harus difahami sebagai ‘ilmu seputar dunia materi’ (yang bisa terbukti secara empirik) agar dalam pandangan manusia pengertiannya tidak tumpang tindih dengan definisi pengertian ‘ilmu’ yang sebenarnya.jadi ‘sains’ bukanlah ilmu dalam pengertian yang bersifat menyeluruh karena wilayah cakupannya terbatas sebatas dunia materi yang bisa di tangkap dunia indera,(sebab itu sungguh janggal bila parameter
    sains digunakan sebagai alat untuk menghakimi agama yang wilayah jelajahnya meliputi keseluruhan realitas,sebab itu sama dengan meteran tukang kayu digunakan untuk mengukur lautan nan dalam).

    Jadi mesti diingat bahwa ‘sains’ pengertiannya kini harus difahami sebagai ‘ilmu seputar dunia materi’ (yang bisa terbukti secara empirik) agar dalam pandangan manusia pengertiannya tidak tumpang tindih dengan definisi pengertian ‘ilmu’ yang sebenarnya menurut sudut pandang Ilahi,jadi ‘sains’ bukanlah ilmu dalam pengertian yang bersifat menyeluruh itu karena wilayah cakupannya terbatas sebatas dunia materi yang bisa di tangkap dunia indera serta bisa dibuktikan secara empirik,(sebab itu sungguh janggal bila parameter sains digunakan sebagai alat untuk menghakimi agama yang wilayah jelajahnya meliputi keseluruhan realitas,sebab itu sama dengan meteran tukang kayu digunakan untuk mengukur lautan nan dalam).
    Artinya bila dilihat dari kacamata sudut pandang Tuhan maka apa yang dimaksud ‘sains’ sebenarnya adalah salah satu cabang ilmu,tapi kacamata sudut pandang saintisme mengklaim bahwa (satu satunya) definisi pengertian ‘ilmu’ yang benar menurut mereka adalah konsep saintisme / yang memparalelkan pengertian ‘ilmu’ dengan ‘sains’ seolah hanya sains = ilmu, dan ilmu = hanya sains (sebagaimana telah tertera dalam buku buku teks filsafat ilmu).
    Kaum materialist tidak mau menerima bila konsep ‘ilmu’ dikaitkan dengan realitas dunia abstrak sebab saintisme berangkat dari kacamata sudut pandang materialistik ‘bermata satu’.yang pasti bila kita menerima definisi konsep ‘ilmu’ versi barat (dengan metodologi yang harus terbukti secara empirik) maka agama seperti ‘terpaksa’ harus difahami sebagai ‘ajaran moral’ bukan kebenaran berasas ilmu (sebagaimana pemahaman filsafat materialist terhadap agama).padahal menurut konsep Tuhan agama adalah kebenaran berdasar ilmu,(hanya ‘ilmu’ yang dimaksud adalah konsep ilmu yang bersifat universalistik yang hanya bisa difahami oleh manusia yang ‘bermata dua’/bisa melihat kepada realitas dunia abstrak dan dunia konkrit secara berimbang).
    Jadi mari kita analisis masalah (ilmu dan kebenaran ) ini dari dasar dari realitas yang bersifat menyeluruh,sehingga umat manusia tidak terdoktrin oleh ‘kebenaran’ versi sudut pandang materialist yang sebenarnya berpijak pada anggapan dasar bahwa yang real atau ‘realitas’ adalah hanya segala suatu yang bisa tertangkap dunia indera (dan secara metodologis bisa dibuktikan secara empirik),dan terlalu picik untuk bersandar pada anggapan demikian, mengingat hanya sebagian kecil saja realitas yang bisa ditangkap oleh dunia pengalaman indera manusia,sehingga wajar bila melalui agama Tuhan memberitahukan kepada manusia realitas yang dunia panca indera manusia tidak bisa menangkapnya.

    Jadi bila saat ini banyak pandangan yang ‘bias’ – ‘rancu’ seputar hubungan agama dengan ilmu itu karena definisi pengertian ‘ilmu’ yang saat ini dominan dan menguasai dunia adalah definisi ‘ilmu’ versi saintisme itulah,dan banyak orang yang belum bisa mengoreksi pandangan saintisme itu dari benaknya,banyak orang yang tanpa sadar memakai kacamata saintisme dalam memahami hubungan agama dengan ilmu sehingga kala melihat agama ia melihatnya sebagai suatu yang seolah ‘berada diluar wilayah ilmu’ itu karena saintisme membatasi ‘ilmu’ sebatas wilayah pengalaman dunia inderawi. sedang definisi pengertian ‘ilmu’ versi Tuhan memang hanya difahami sedikit orang yang memiliki pandangan berimbang antara melihat kedunia abstrak dengan melihat ke dunia konkrit.
    Agama yang difahami secara benar dan ilmu pengetahuan yang juga difahami secara benar akankah bertentangan (?),mustahil ! sebab dua hal yang benar mustahil bertentangan satu sama lain melainkan akan saling mengisi satu sama lain walau masing masing mengisi ruang yang berbeda serta mengemukakan kebenaran dalam persepsi yang berbeda.(hanya manusia yang sering tidak bisa menyatu padukan beragam ruang serta beragam persepsi yang berbeda beda itu padahal semua ada dalam satu realitas keseluruhan dan mengkristal kepada suatu kesatuan konsep-makna-pengertian).
    Agama dan ilmu telah menjadi korban fitnah besar dan telah menjadi seperti ‘nampak bertentangan’ karena dalam sejarah telah terjadi provokasi besar besaran oleh kacamata sudut pandang ideology materialistik yang memposisikan agama dan ilmu pada posisi yang seolah bertentangan,karena kacamata sudut pandang materialistik melihat-memahami dan mengkonsepsikan agama secara salah juga melihat-memahami dan mengkonsepsikan ‘ilmu’ secara salah akibatnya mereka (materialist) sulit menemukan keterpaduan antara agama dengan ilmu.
    Sebab itu bila ingin memahami konsep agama dan ilmu secara benar kaji kitab suci secara ilmiah dengan tidak bersikap a priori terlebih dahulu.dan yang mesti diingat adalah bahwa segala bentuk hipotesa – teori yang tidak berdasar fakta-yang cuma khayalan – yang cuma teori-filosofi seputar sains yang berdasar ideology materialist (bukan murni sains),semua adalah ‘karat’ yang membuat agama dengan ilmu akan nampak menjadi bertentangan, sebab agama hanya menerima yang berdasar fakta kenyataan sebagaimana yang Tuhan ciptakan.Ironisnya tidak sedikit ilmuwan-pemikir yang menelan mentah mentah konsep saintisme ini sehingga agama dan ilmu nampak berada pada kotak yang berjauhan yang seperti sulit atau tidak bisa disatu padukan,bahkan pengkaji masalah hubungan agama-ilmu seperti Ian g. barbour sekalipun belum bisa melepas kacamata saintisme ini dari kacamata sudut pandangnya sehingga ia menemukan kerumitan yang luar biasa kala membuat peta hubungan antara agama dengan ilmu.

    ‘Sains murni’ seperti hukum fisika mekanisme alam semesta,hukum hukum ilmu fisika murni, matematika murni,ilmu tentang listrik,ilmu tentang komputer,biology dlsb.yang memiliki bukti fakta empirik yang konkrit yang pasti dan terukur pasti tidak akan bertentangan dengan agama justru menguatkan pandangan agama,tapi teori khayali yang tak berdasar kenyataan seperti Darwin pasti akan berbenturan dengan agama,tapi oleh kaum materialist ilmiah justru teori inilah yang dibesar besarkan dan dihadapkan pada garis terdepan (seolah ia mewakili dunia ilmu !) dan dibenturkan secara langsung dengan agama kala membahas masalah hubungan agama dengan ilmu hingga lahirlah salah satu fitnah akhir zaman yang terbesar sepanjang sejarah didunia.
    Saat ini dengan eksistnya ideology materialisme ilmiah di dunia sains nampak fitnah itu seperti dijaga ketat supaya terus ada hingga kini dengan berbagai cara bahkan dengan cara yang tidak ilmiah sekalipun,seperti contoh : kengototan luar biasa dalam mempertahankan teori Darwin saat teori itu makin terbukti tidak memiliki validitas ilmiah-kemudian penafsiran teori relativitas lalu fisika kuantum ke arah yang sudah bukan sains lagi yaitu ke tafsir tafsir materialistik,dicurigai dibalik semua itu mereka sebenarnya tidak ingin agama dan ilmu nampak sebagai dua konsep menyatu padu sebab kesatu paduan agama dengan ilmu sudah pasti akan menghancurkan ‘kredibilitas ilmiah’ ideology atheistik materialistik yang bersembunyi dibalik wacana wacana filsafat-sains.
    pemikiran-pandangan-opini-pernyataan mereka itulah yang membuat filsafat-sains nampak selalu berbenturan langsung dengan agama,artinya mereka (materialist) berusaha memonopoli tafsir tafsir seputar sains sehingga penafsir sains yang menafsirkan segala suatu seputar sains diluar cara pandang mereka akan langsung distigma kan sebagai pernyataan yang ‘apologistik’ (dibuat buat agar nampak ‘ilmiah’).

  6. rvolutionaire Says:

    Kisah galileo ini hanya salah satu contoh saja dari banyaknya kecongkakan gereja katolik untuk mempertahankan ideologi gereja yang salah…dulu gereja tidak mengakui galileo dan teorinya tapi sekarang mengakui….sunggug naif gereja katolik itu…
    Ckckckck

  7. wahyu Says:

    kalau saya lebih percaya kalau Semua Agama didunia diciptakan dan disusun berdasarkan pemikiran manusia pada saat itu, karena ilmu pengetahuan manusia pada saat itu terbatas maka terciptalah penimpangan antara yg ditulis di Alkitab dan Ilmu Pengetahuan.

  8. Saifuddin Aman Says:

    Bagus sekali. Semestinya para ulama muslimin belajar dari apa yang sudah terjadi. Janganlah menafsirkan Al-Qur’an dengan tafsir tunggalnya sehingga mengaggap salah tafsir ulama lain yang tidak sama dengan pahamnya. Kaum Wahabi dan kini kaum Salafi, mereka tak ubahnya sama dengan pendeta zaman galelio yang mengekang kaum intelktual menafsirkan Al-Qur’an demi kemajuan dan kedamaian umat manusia. Coba lihat kemajuan apa yang diraih oleh kaum wahabi?
    Terima kasih pak Armando, sangat mencerahkan.
    Saifuddin Aman, http://www.saifuddinaman.com


Tinggalkan Balasan ke theodorus Batalkan balasan