Akhirnya, Rektor Menjual Diri dan UI pada Pemerintah

Ade Armando, 18 Desember 2011

Rektor UI Prof Dr. Gumilar Somantri sungguh memalukan.

Dalam upaya terakhirnya untuk menyelamatkan diri, ia mengambil langkah yang melecehkan UI: Gumilar mempersembahkan diri dan UI sebagai bawahan Menteri Pendidikan Kebudayaan.

Langkah memalukan ini terbaca dalam surat Rektor tertanggal 15 Desember kepada Majelis Wali Amanat UI, yang merupakan jawaban atas surat MWA (12 Desember) yang meminta penegasan Rektor atas komiten kerjanya..

Dalam surat itu, Rektor menyatakan bahwa ia kini adalah ‘kepala satuan kerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan’. Dengan kata lain, Gumilar menyatakan bahwa ia adalah bawahan Menteri dan hanya bertanggungjawab kepada Menteri. Dengan kata lain pula, Gumilar menjadikan UI sebagai sekadar ‘satuan kerja’.

Menurutnya pula, status Rektor semacam itu merujuk pada PP No. 66/2010.

Tentu saja kita tak perlu terkecoh menyangka bahwa langkah Gumilar itu dilakukan sebagai bentuk komitmennya untuk menjalankan peraturan yang berlaku.

Gumilar hanya sedang berusaha menyelamatkan diri.

Gumilar mengeluarkan surat tersebut dalam kondisi di mana ia dituntut untuk bertanggungjawab terhadap begitu banyak salah kelola yang diduga telah merugikan negara miliaran rupiah. Tak kurang dari Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Indonesian Corruption Watch sedang memeriksa keuangan UI. Berbagai kelompok dalam UI sendiri  (Badan Eksekutif Mahasiswa, Save UI, Kelompok Perempuan Lintas Fakultas untuk Reformasi, dll) juga menggugatnya. Indikasi kerugian negara dan korupsi nyata terlihat.

Dalam konteks itulah, MWA meminta Gumilar untuk mempertanggungjawabkan segenap kekacauan yang dilahirkannya. Kini dengan menyatakan bahwa ia adalah bawahan Menteri, Gumilar mungkin berharap ia bisa terlepas dari kewajibannya bertanggungjawab pada MWA.

Gumilar jelas bukan orang bodoh. Dengan langkah itu, Gumilar mungkin berusaha menyenangkan hati sang Menteri  dengan menunjukkan bahwa ia adalah pihak yang loyal pada pemerintah dibandingkan pihak yang digambarkannya sebagai musuh di dalam UI: MWA, dan kelompok-kelompok mahasiswa-pengajar-alumni yang bersama-sama menggugatnya.

Dengan menyenangkan hati Menteri, Gumilar mungkin berharap Menteri akan berpihak padanya dalam menyelesaikan konflik UI. Sang Menteri memang sudah menyatakan bahwa bila kekisruhan di dalam UI terus berlanjut, ia akan mengambilalih persoalan. Karena itu, bisa dipahami bila sang Rektor berusaha membangun imej penurut di hadapan Menteri.

Sangat bisa diduga, bila Gumilar  menjadi bawahan Menteri, segenap proses pemeriksaan dan gugatan terhadapnya lebih mudah diredam.

Tapi dengan melakukan langkah itu, Gumilar sebenarnya sedang mengobral murah UI.

Gumilar jelas sedang berusaha memanfaatkan ruang yang disediakan PP No. 66/2010. PP No. 66 ini mengubah status UI (dan universitas-universitas negeri lainnya, seperti ITB, IPB, dsb) dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi Perguruan Tinggi negeri (PTN). PP ini  memang tidak mengakui keberadaan MWA  yang merupakan badan yang memiliki kewenangan memilih, mengawasi dan memberhentikan Rektor.  Dalam PP No. 66 ini juga dinyatakan bahwa Rektor berkuasa penuh di Universitas dan merupakan bawahan Menteri.

Namun PP ini juga menyatakan bahwa perlu  masa transisi untuk menjalankannya. PP ini menyatakan bahwa penyesuaian tersebut harus selesai  selambat-lambatnya pada September 2013. Dan untuk tiba pada wujud barunya, UI (dan PTN-PTN) lain memerlukan Peraturan Presiden (PerPres) dan Statuta (semacam AD/ART) baru yang harus dirancang di masing-masing kampus.

Gumilar dengan seenaknya mengabaikan saja ketentuan itu. Saat ini belum ada PerPres, belum ada Statuta dan belum ada Tim Transisi yang akan menyiapkan proses   perubahan tersebut. Seharusnya Gumilar tak bisa begitu saja menyatakan bahwa PP No. 66 sudah harus dijalankan sepenuhnya saat ini.

Lebih jauh lagi, Gumilar mengabaikan begitu saja kenyataan bahwa masyarakat akademik UI dan  berbagai BHMN   tidak sepenuhnya  menerima gagasan  dalam PP no. 66.

PP ini memiliki sisi positif dalam hal menjadikan perguruan tinggi tak perlu lagi terlalu berorientasi komersial. Dalam hal ini, banyak pihak mendukungnya.

Namun PP ini mengandung masalah besar, yakni menjadikan perguruan tinggi negeri berada di bawah kendali langsung sang Menteri. Dalam skema PP No. 66, Rektor adalah bawahan Menteri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana berbahayanya bila masyarakat akademis yang seharusnya berperan sebagai pemandu arah yang kritis berada di bawah kendali pemerintah. Tidak akan  ada  lagi kebebasan akademik. Tidak akan  ada lagi kemandirian masyarakat kampus untuk menyuarakan kebenaran.

Karena itulah umumnya BHMN berusaha menunda pemberlakuan PP No.   66, atau setidaknya mereka berusaha melahirkan Statuta yang bisa mencegah kendali terlalu jauh oleh Menteri.

Satu hal lagi: masyarakat akademik juga menanti lahirnya UU Perguruan Tinggi yang sedianya diundangkan akhir 2011 namun nampaknya harus tertunda sampai 2012. Kalau merujuk pada RUU yang sudah beredar, kewajiban BHMN berubah menjadi PTN yang berposisi sebagai Satuan Kerja Depdikbud sudah ditiadakan. Menjadi Satker hanyalah salah satu pilihan, tapi bukan satu-satunya pilihan.

Ini semua diabaikan begitu saja oleh Gumilar.

Secara sepihak, tanpa berkonsultasi pada organ-organ universitas lain dan dengan mengabaikan begitu saja banyak pandangan komunitas akademik UI (termasuk pada ahli hukum UI sendiri), ia menyatakan UI sekarang adalah ‘satker’ Depdikbud.

Dan itu dilakukannya semata-mata untuk menyelamatkan diri dari kewajiban bertanggungjawab atas kerugian dan kehancuran yang sudah ditimbulkannya.

Nampaknya sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari Gumilar. Ia tak memiliki sedikit pun niat baik.

Ia sudah menghancurkan dan kemudian menggadaikan UI.

Karena itu, rasanya tak ada lagi pilihan lain bagi Majelis Wali Amanat selain memberhentikan Rektor yang dulu mereka pilih.

Rasanya tak ada pilihan lain bagi masyarakat akademik UI selain  menyatakan: ‘Cukup Sudah’ pada Gumilar

Ditulis dalam UI. Tag: . 8 Comments »

8 Tanggapan to “Akhirnya, Rektor Menjual Diri dan UI pada Pemerintah”

  1. Patresia Kirnandita Says:

    Bang Ade sedang membaca langkah bidak catur di UI ini 😀

  2. adearmando Says:

    Asal tidak menjual agama?
    Oh jadi korupsi itu dibenarkan oleh agama?
    Hmmm saya rasa itu yang menyebabkan orang seperti Gumilar snenag menggalang dukungan dari kelompok-kelompok Islam…

  3. Rumus Matematika Says:

    universitas indonesia lagi galau nih. pemimpinnya ternyata kontroversial 😀

  4. icul Says:

    Terima kasih Bang, tulisan anda memperjelas pemahaman saya mengenai keadaan UI saat ini.

  5. ujang suhendra Says:

    kasihan Bang Ade Armando ini, orang yang di dalam dirinya itu penuh kebencian terhadap apapun, ibarat teko, air didalamnya air comberan sehingga yang keluarnya pun kata kata comberan. Sudah banyak kata-kata yang saya dengar dari bang ade ini yang kita malu mendengarnya, semoga ia dapat ampunanNya.

    • adearmando Says:

      Ujang, ujang.
      Saya kan sekadar mengeritik penguasa yang zalim.
      Itu namanya kewajiban yang harus dijalankan setiap manusia.
      Anda sendiri, kenapa mati-matian membela Gumilar. Anda sudah pelajari gugatan terhadap Gumilar. Bisa Anda tunjukkan di bagian mana kami salah?


Tinggalkan Balasan ke Patresia Kirnandita Batalkan balasan